
Kolonialisme telah mengubah pola produksi dan makanan masyarakat jajahanya. Itu dapat dilihat dari gejala-gejala di masa tersebut. Salah satu titik yang menandai perubahan tersebut adalah beralihnya kebijakan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) ke dalam kebijakan Agrarische Wet serta Suiker Wet pada tahun 1870. Itu menandai perubahan pola masyarakat, yang mulanya memiliki konsep ketahanan pangan berubah menjadi konsumeristik.
Perubahan kebijakan tersebut, faktanya, memiliki dampak terhadap pola kehidupan masyarakat terjajah. Sebab, ada fenomena perubahan relasi produksi. Itu ditandai dengan berubahnya sistem kepemilikan yang telah dibentuk oleh sistem tanam paksa. Sistem tersebut mengharuskan petani menanam tanaman produksi.
Bermula dari perkembangan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), pada akhirnya meruntuhkan kedudukan petani pribumi yang tidak lagi memiliki akses langsung terhadap tanah. Strategi cultuurstelsel yang lebih mengedepankan pada komoditas perkebunan pemerintah menyebabkan perubahan atas kerja petani pribumi untuk menggarap lahanya dengan penghasilan yang tak sepadan.
Sayangnya, permasalahan tanam paksa ini tidak dapat digeneralisir begitu saja sebab, daerah-daerah tertentu belum tentu mengalami peristiwa serupa. Namun, secara umum, fenomena tersebut sangatlah menggejala di berbagai daerah. Adapun, kasus tersebut juga memiliki perbedaan pada lanskap horizon tinggal masyarakat, seperti pedesaan atau perkotaan. Residen Semarang, sebagai contoh, pernah dilanda bencana kelaparan pada 1849-1850 (Retno; 2019). Itu juga akibat dari sistem tanam paksa yang memiskikan masyarakat terjajah.
Senada dengan kasus tersebut, permasalahan kebijakan tanam paksa menghantarkan suatu perubahan atas kepemilikan tanah. Sebab, tanah sudah tidak dapat lagi digarap, karena itu telah berubah menjadi milik perkebunan. Titik puncak perubahan tersebut adalah diterapkannya Agrarische Wet 1870. Kebijakan tersebut juga hadir dari perubahan lanskap politik kolonial yang mulai diduduki oleh kelompok liberal.
Undang-undang tersebut banyak mengatur hak atas tanah. Tanah di negeri jajahan mulai dikontrol sedemikian rupa berdasarkan kebijakan tersebut. Kepemilikan tanah tersebut dapat dilihat melalui pengaturan tanah Eigendom—hak kepemilikan tanah oleh pribumi yang diatur dalam undang-undang kolonial, dan itu juga mengatur penghapusan sistem pelayanan kerja wajib atau Corvee labour (Scott; 1989).
Walaupun begitu, politik liberal ala kolonial ini tetap saja membawa petaka, terlebih di saat pihak-pihak swasta bisa dengan leluasa mengontrak tanah dalam kurun waktu 75 tahun – yang mana juga telah diatur dalam undang-undang agraria 1870. Pada masa politik liberal ini, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa mendapatkan jumlah keuntungan luar biasa yang berlandaskan pada colonial super profit. Bagaimana tidak? Pengusaha-pengusaha Eropa mendapatkan tenaga kerja yang bekerja dalam waktu yang panjang dengan upah yang rendah.
Di lain hal, pihak pemodal juga tidak perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur karena telah dibiayai oleh pungutan pajak terhadap penduduk jajahan oleh pemerintah kolonial (Achdian; 2021). Hal inilah yang menjadikan sebuah transformasi sosial di antara masyarakat agraris yang awalnya sawah-sawah digunakan sebagai ketahanan pangan malah berbalik menjadi komersialisasi pertanian.
Adagium Jawa yang berbunyi “Mangan gak mangan, sing penting ngumpul” menjadi tak bermakna lagi akibat transformasi sosial di antara masyarakat terjajah. Itu disebabkan karena kebijakan politik Hindia Belanda. Kebebasan yang dijanjikan oleh kaum liberal nyatanya tak semanis itu. Kebijakan ini membuat satu perpindahan besar-besaran, baik itu ekonomi yang menciptakan ketergantungan hingga para petani terjajah yang menjadi tak bertanah.
Hilangnya laku untuk memaknai adagium tersebut, nyatanya, disebabkan oleh ketidakstabilan kesejahteraan masyarakat terjajah dengan kapitalisme. Ini merupakan akibat dari politik liberal tersebut, di mana masyarakat menjadi tak bertanah, yang disebabkan tertutupnya sumber daya di lingkungan desa, menciutkan pendapatan tambahan dalam aktivitas ekonomi tradisional petani dan lainnya.
Hal tersebut menyebabkan bergantinya prioritas masyarakat. Itu menjadikan uang sangat penting ketimbang ketahanan pangan sebab, hanya dengan uang mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mau tidak mau, para petani pun harus menyewakan tanah-tanah mereka kepada pihak perkebunan – di mana uang sewanya relatif kecil daripada keuntungan yang diraup oleh pihak perkebunan nantinya, meminjam kredit hingga bekerja di pabrik atau perkebunan. Pemiskinan ini cukup parah, masyarakat desa atau kota mulai ketergantungan pada kredit, bahkan para petani juga banyak yang menyewakan tanahnya. Mereka harus memperpanjang sewa tanah dengan industri gula sebelum masa sewanya berakhir untuk mendapatkan uang.
Pemiskinan ini juga membuat kekurangan pangan di saat proses komersialisasi di pedesaan sangat hebat. Perhitungan tahun 1930 juga menunjukkan bahwa sekitar 8 juta petani di Jawa hanya menggarap lahan yang luasnya bertambah hanya sekitar 3 persen. Pemiskinan ini akhirnya menimbulkan kaum tani pedesaan meresponsnya dengan mengalihkan pola makanannya (Rennet, 1974).
Di lain sisi, proses komersialisasi di pedesaan ini menjadikan banyak petani tidak memiliki tanah, hingga akhirnya menimbulkan satu kontradiksi sosial tersendiri di dalamnya, karena banyak faktor semisal pertambahan penduduk, menyempitnya kerja sampingan, fluktuasi harga yang menyebabkan kedudukan tuan tanah menjadi semakin kuat (Vries; 1982).
Ditambah lagi, kebutuhan hidup masyarakat terjajah pun harus dipenuhi, dan cara untuk memenuhinya adalah dengan mendatangi pabrik, pengusaha kebun Tionghoa, penyewa tanah pribumi, dan meminjam uang kas pada bank, lumbung desa atau rumah gadai, yang mana di sinilah para petani menjadi tak bertanah akibat tanah atau sawahnya digunakan sebagai jaminan utang mereka. Masalah ini juga diperparah ketika mereka tidak bisa membayar utang, dan akhirnya tanah garapan mereka harus diserahkan. Itu menyebabkan para petani ini menjadi buruh upahan di tanahnya yang tergadaikan dulu.
Dengan kata lain, gejala ini menyebar ke seluruh Jawa baik itu Semarang ataupun Surabaya. Gejala tersebut adalah gejala semakin menguatnya segolongan kecil kaum tani yang berkembang dalam struktur perekonomian kolonial dan terlibat dalam aktivitas ekonomi dunia melalui penanaman komoditas tanaman ekspor. Di sisi lain, banyak sekali petani menjadi tak bertanah yang memberikan bentuk dalam proses diferensiasi di pedesaan.Singkat cerita, Indonesia, kala itu, sebagai negeri jajahan, mengalami suatu peralihan sistem kolonial dari cultuurstelsel hingga Agrarische Wet 1870, yang mana memiliki konsekuensi mendalam dan mengubah banyak sekali hal mulai dari falsafah hidup hingga pola konsumsi masyarakat terjajah. Pada akhirnya, masyarakat terjajah harus menikmati kepahitan atas kehilangan tanah, dan akibatnya mereka harus mengikuti pola kolonial agar mereka tetap hidup. Pola tersebut adalah kerja-kerja murahan menjadi buruh pabrik untuk memenuhi kehidupannya.
0 Comments