
Karya sastra tak pernah hadir dari kekosongan. Kehadirannya berangkat dari nalar kritis. Melalui karyanya, sastrawan, dengan radikal, menyibak perkara yang kerap kali dianggap tabu dalam kehidupan. Ia mempertanyakan, mempersoalkan, dan memperdebatkan kembali pandangan-pandangan normatif yang mengaburkan makna-makna lain dari kehidupan. Dengan demikian, karya-karya sastra mampu melampaui pandangan dan pemahaman tabu dalam kehidupan. Itu melampaui kebermakanaan normatif yang mengendap dalam selubung kesadaran manusia.
Selain itu, dimensi mengada manusia memiliki “conciousness” bukan saja hanya kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi itu juga berkaitan dengan adanya kesadaran atas diri “self-conciousness” serta eksistensinya. Eksistensi merupakan titik archimedes baru di mana tempat manusia melekatkan dunia dan dirinya sendiri. Bagi Kierkegaard, manusia adalah pengada yang selalu ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan dalam pergulatan hidupnya. Namun, ada banyak ketidakpastian yang sulit dipahami secara rasional, ketidakpastian yang malah membuat manusia itu ragu dan merasa cemas akan masa depannya.
Begitu juga dengan Naskah lakon C4, yang merupakan naskah lakon ketiga dari kepala suku Saung Teater Adnan Guntur, menghadirkan dimensi pembelotan atas nalar mayoritas. Jika menilik kembali karya Adnan Guntur sebelumnya seperti “Tubuh di Pukul 11:11”, naskah ini seolah hadir berbeda dengan karya pendahulunya. Pemilihan diksi C4 sebagai judul tampak sebagai penanda dan kode simbolik yang dapat memunculkan beragam interpretasi bagi para pembacanya.
Jika ditelusuri lebih mendalam lagi, kode C4 memiliki pemaknaan yang berbeda berdasarkan pada berbagai bidang. Dalam istilah militer, C4 merupakan kode jenis peledak tertentu yang digunakan oleh pasukan khusus. Alat peledak tersebut memiliki daya ledak yang efektif untuk menghancurkan sesuatu. Sementara itu, kode C4 juga memiliki makna lain di dalam bidang medis. C4 merupakan kode senyawa komplemen. Dengan kata lain itu juga dapat dipahami sebagai senyawa dalam darah yang tersinkron dengan sistem kekebalan tubuh. Ini berarti bahwa peningkatan atau penurunan C4 akan mengakibatkan gangguan dalam kesehatan. Oleh karena itu, C4 diharapkan selalu dalam kondisi stabil (sinkron) agar tidak terjadi gangguan kesehatan dalam tubuh manusia.
Sedangkan, Konsep ledakan dan sinkronisasi telah menghasilkan temuan tentang penciptaan dan pembentukan kebaruan. Mitos penciptaan dalam teori Big Bang, sebagai contoh, telah menjelaskan bagaimana ledakan itu akan membentuk dimensi ruang dan waktu. Itu menghadirkan suatu titik mata dan dikenal dengan singularitas. Titik tersebut meledak dengan kekuatan yang sedemikian rupa. Lalu, itu menghasilkan materi yang terus bertabrakan dan berputar hingga terbentuk kembali menjadi sesuatu yang terus mengembang sebagai akibat ledakan.
Dalam kosmologi Aristoteles, menganggap bahwa gagasan-gagasannya terbentuk sebagai sistem yang sempurna, di mana setiap bagiannya mengikuti bagian lainnya secara logis. Baginya, aktivitas pergerakan selalu diakibatkan oleh adanya penggerak tertentu. Sebagai rangkaian hukum sebab-akibat pada alam semesta yang harus berakhir pada sebab pertama.
Menuju eksistensi manusia, Kierkegaard memperkenalkan pemahaman filosofisnya terhadap eksistensi manusia yang memperhitungkan secara serius subjektivitas manusia yang menekankan hasrat (passion) dan menggulati kehidupannya, serta keberadaannya sebagai seorang individu. Pemikiran Kierkegaard inilah yang menjadi titik tolak perenungan baru tentang makna keberadaan manusia sebagai pribadi yang berkomitmen untuk menjadi dirinya sendiri. Melalui dasar ini, Kierkegaard mencetuskan konsep tentang eksistensialisme dengan menekankan masalah ilahi atau ketuhanan pada puncak pemikirannya.
Menyoal eksistensi ketuhanan selalu menemukan pangkal yang berpotensi tak terbatas, karena sesungguhnya manusia memiliki kecenderungan untuk mengakui adanya dimensi transenden. Memahami Tuhan atau yang transenden secara rasional tak lain adalah upaya manusia untuk memahami hakikat yang kasat mata dan yang gaib. Itu juga memantapkan keyakinannya akan keberadaan tuhan yang dianggap mempengaruhi seluk-beluk kehidupan. Dalam waktu yang sama, manusia yang mengaku tidak percaya kepada transendensi juga punya keinginan untuk meniadakan secara rasional hal tersebut. Mereka melakukan penyangkalan karena tidak mampu menangkap eksistensinya. Dengan kata lain, apapun tujuan untuk memahami dan menolak yang transenden merupakan bukti bahwa kehadirannya telah benar-benar memengaruhi kehidupan manusia.
Rentetan pencarian, ledakan, penciptaan, dimensi ruang dan waktu, serta ihwal keilahian memiliki satu benang merah yang melebur. Panggung eksistensi menjadi dimensi tempat singgah jiwa dan raga manusia. Pencarian di dalam otak manusia akan menetaskan suatu kebaruan. Ledakan akan membentuk emosi yang menjajaki permasalahan, hingga berjalan menuju penciptaan yang baru. Kemudian pada titik transendensi, manusia akan dibawa menuju ke suatu hal yang tinggi, mistis, dan kompleks.
Singkatnya, naskah lakon C4 telah lahir sebagai dimensi kritik sosial atas eksistensi. Sang pujangga menghadirkan bagaimana konsep ledakan dan kehancuran dapat mendorong manusia menuju pencarian eksistensinya. Mereka selalu berusaha menuju kesadaran akan dimensi transenden, dan itu juga menuju penciptaan dan penciptaNya. C4 hadir sebagai pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah disertai jawaban atas suatu ketetapan.
0 Comments