Keutuhan dan Keterasingan dalam Kumpulan Geguritan Setitik Air di Lokalisasi
M.A. Haris Firismanda merupakan mahasiswa S2 Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga

Manusia selalu melekatkan dirinya kepada hasrat (desire) simbolik. Ia tak lagi hanya terbelenggu pada hasrat atau kenikmatan (pleasure) seksualitas saja. Melainkan dorongan hidup mengenai kemewahan, kemegahan, ataupun kemapanan  secara ekonomi yang melibatkan tata ruang urban. Salah satu fenomena tersebut dapat dilihat melalui antrologi geguritan yang berjudul “Setitik Air di Lokalisasi” (2008). Selain itu, karya ini juga merupakan salah satu dari  program pembinaan Bengkel Sastra Jawa.

Sebagai suatu karya geguritan, karya ini ditulis menggunakan Bahasa Jawa. Karya ini juga merepresentasikan kelompok PSK karena para pujangganya berangkat dari program pembinaan terhadap kelompok tersebut. Oleh sebab itu, karya ini menyimpan memori kolektif maupun kesadaran kelas pekerja ini. Ini sekaligus menunjukan bahwa imajinasi mereka menyimpan suatu hasrat simbolik atas imajinasi keutuhan tertentu. 

Secara lebih lanjut, karya geguritan, yang berjudul “Terminal”, sangat menarik untuk dianalisa lebih mendalam. Seperti judulnya, karya ini menyimpan suatu hasrat simbolik atas suatu keberangkatan. Ada suatu keinginan, dari sang Pujangga, untuk menghadirkan memorinya atas ruang tersebut. Itu dimaknai sebagai suatu gerbang awal menuju dunia yang baru. Karya tersebut berbunyi sebagai berikut:

l Akeh tenan wong kang teka-lunga

 Akeh wong Ian pawongan kang sliweran

 Angel anggonkujalukpitulungan 

Amarga wedi yen kapusan

Di satu sisi, kota menyimpan suatu imajinasi atas kemajuan dan kebaharuan. Di sisi lain, sang pujangga menyimpan suatu ketakutan atas kehidupan  di perkotaan. Itu dilihat sebagai dunia kehidupan yang sangat abu-abu dan baru. Ia seakan memasuki belantara rimba yang berada di antah-berantah. Kehadiran kota justru menyimpan memori kecemasan bagi penulisnya. 

Berbeda dengan geguritan Terminal, karya geguritan yang berjudul “Ora Bakal Lali” justru menyimpan suatu hasrat atas kerinduan terhadap subjek liyan,yakni sosok suami. Karya ini menyimpan suatu imajinasi atas keutuhan subjek, jika ia dapat bertemu atau hidup bersama dengan suaminya. Adapun penggalan puisi tersebut berbunyi sebagai berikut: 

  Gusti

 Tulungen awakku iki 

Krana aku saiki lagi susah Ian bingung 

Amarga ditinggal bojoku megawe adoh banget  

Saiki aku dhewekan 

Ana papan kene 

Aku mung bisa nenuwun

 Karo sing Kuwasa 

Muga-muga bojoku

 Ana papan penggawean 

Slamet

Ora ana alangan apa-apa

Aku dhewe nek kene kerja

 Aku pengen urip bebarengan karo bojoku 

Kaya apa bae 

Aku bakal tetep ngenteni bojoku bali

Sang Pujangga seakan dihantui oleh keresahan atas pekerjaan suami yang jauh darinya. Dirinya mengalami kondisi keterasingan sebab, ia tidak mendapatkan keutuhan pada dirinya. Permasalahan ekonomi melatarbelakangi permasalahan keterasingan subjek istri tersebut.Namun keutuhan tersebut tidak turut melengkapi karena kepergian sosok liyan tersebut. Selain itu, suaminya harus pergi berkelana jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya ia merasakan suatu keinginan untuk menggapai keutuhan dirinya sebagai subjek yang hidup bersama dengan sang liyan.

Subjek liyan, dalam kumpulan karya ini, tidak hanya terbatas pada relasi istri-suami, tetapi relasi antara ibu dengan anak juga dihadirkan dalam karya ini. Karya geguritan, yang berjudul “Katresnan”, menghadirkan dimensi alienasi bagi sang pujangga dalam karya ini. Titik mulai permasalahanya hadir karena seorang ibu harus merantau jauh dari desanya untuk menafkahi keluarganya (liyan) termasuk anaka. Penggalan sajak tersebut berbunyi sebagai berikut: 

 Aku tresna marang anakku 

 Sampek teka jeroning atiku 

Sapa bae ora bakal bisa misahake aku utawa anakku

 Aku tresna sampek tekan pati

Karya ini menunjukan hasrat simbolik dari sang ibu, yaitu sang anak. Ia pergi jauh dari anaknya untuk mencari nafkah. Karena permasalahan tersebut, sebagai seorang subjek, sang ibu tidak merasakan keutuhan. Ia menyemburkan kesedihannya melalui sajak tersebut. Ia menunjukan kasih saying dan perasaanya kepada anaknya, dan itu juga ditunjukan bahwa rasa sayangnya hadir hingga ke daerah tempat asalnya. 

Beberapa penggalan sajak tersebut menunjukan suatu pandangan terhadap kehidupan urban. Ada ingatan ihwal keberangkatan. Ada juga imjinasi keterasingan. Keduanya saling mengisi benak para penulisnya di dalam karya geguritan tersebut. Mereka menunjukan suatu imajinasi atas keterasingan sekaligus mengalami kegagalan dalam keutuhan mengenai hasrat simboliknya terhadap liyan. 

Di samping itu, kemunculan konflik dalam beberapa sajak tersebut muncul karena dorongan materialistis. Mereka harus memenuhi hidupnya. Atas kebutuhan tersebut, mereka berusaha untuk mencari ruang penghidupan yang lebih baik. Ini justru faktanya menghadirkan trauma dan memori tersendiri untuk mereka. Mereka seakan sedang menghadapi suatu momen keruntuhan atas dirinya sendiri. 

Singkatnya, hasrat simbolik, dalam karya ini, direkam melalui benak para pujangganya. Mereka semua merupaka subjek-liyan yang berusaha untuk mendapatkan keutuhan atas dirinya, tetapi mereka justru mengalami suatu pengalaman keterasingan atas gagalnya menggapai keutuhan hidup.  

Artikel Lainnya

Mencari Mata di Pukul 11:11

Mencari Mata di Pukul 11:11

Adnan Guntur menerbitkan kumpulan lakon. Ia memberi judul terbitan tersebut dengan tajuk “Tubuh di Pukul 11:11”. Karya ini...

11 Tubuh pada Patjarmerah

11 Tubuh pada Patjarmerah

Retno Asih Firnanda | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[] Arek Institute...

Tubuh, Kota, Kala

Tubuh, Kota, Kala

Anugrah Yulianto Rachman--Nugi. Peneliti Arek Institute. Karya “Orang Orang yang Berjalan dari Depan dan Belakang” merupakan...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *