
Anugrah Yulianto Rachman | Peneliti Arek Institute
Pagesangan merupakan kampung arkais. Kehadirannya telah terekam semenjak masa Majapahit. Itu dibuktikan melalui prasasti Canggu Trowulan 1. Seperti pencatatan katologisasinya, prasasti tersebut ditemukan di daerah Trowulan, Mojokerto. Lalu, itu dibaca dan diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes—seorang arekeolog dari Belanda (Pigeaud, 1960:137).
Prasasti Canggu sendiri berisi ihwal pemberian sima dari raja Hayam Wuruk. Sima tersebut diberikan kepada daerah-daerah tepian sungai yang telah membantu aksesibilitas kerajaan Majapahit melalui penambangan (prakāraning naditira pradeça sthānaning anāmbangi) (Pigeaud, 1960:110). Prasasti ini dituliskan pada pada 1280 Saka pada bulan Shrãwaṇa (Juli-Agustus)—dalam penanggalan masehinya 1358 A.D. (Pigeaud, 1960:108; 1960:138). Daerah-daerah yang disebutkan salah satunya adalah gsang—sekarang dikenal dengan nama Pagesangan.
i gsang atau di gsang (Baca: Pagesangan) muncul di dalam pelat ke-5 bagian belakang (verso) pada baris ke-3 sampai 4. Prasasti ini ditulis dalam beberapa seri pelat berbahan tembaga. Itu diukir dalam prasasti berbahasa Jawa Kuno (aksara Kawi). Penulisannya pun berbentuk depan-belakang (recto-verso). Setiap bagiannya menceritakan daerah-daerah yang memiliki andil besar ihwal penambangan atau penyebrangan (anambangi). Dalam salinan bahasa Inggris, Pigeaud menyebutnya dengan istilah Ferry Charter.
Ada beberapa daerah lainnya yang disebutkan dalam prasasti Canggu. Daerah-daerah tersebut di antara lainnya adalah: Sarba, Waringin-Pitu, Lagada, Pamotan, Tulangan, Panumbangan, Jeruk, Terung, Kembang-Shri, Teda, Gsang, Bukul, dan Shurabhaya. Dari daerah yang disebutkan, Gsang termasuk ke dalam salah satu daerah berpengaruh. Artinya, daerah-daerah ini memiliki peran penambangan (anambangi). Dalam konteks ini, penambangan berarti penyebrangan sungai.
Karena perannya, daerah-daerah tersebut diberikan sima oleh Rãjasanegara (Hayam Wuruk). Sima tersebut adalah menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai daerah independen atau tidak dikenakkan pajak oleh kerajaan Majapahit kala itu. Adapun, sungai adalah pusat dari peradaban Majapahit. Artinya, Pelabuhan dan sungai adalah satu paket lengkap dari jalur dagang dan transportasi masyarakat. Dengan begitu, pemberian sima adalah salah satu bentuk terima kasih dari kerajaan.
Jejak penyebrangan tersebut, faktanya, tidak hanya berhenti di masa Majapahit saja. Serpihan bukti fisik kehadiran penambangan ini tentulah masih dapat dijumpai. Tukang perahu masih menarik tali yang menghubungkan dua tepian sungai. Mereka masih membantu masyarakat dalam memintas jalan dan waktu. Pekerjaan tukang tambang menunjukan suatu corak pekerjaan kuno yang masih tersimpan rapih di Pagesangan.
Di satu sisi jasa penambangan masih banyak digunakan banyak orang. Kehadirannya tentu saja butki nyata dari betapa tuanya kehadiran kampung ini. Karena, di dalam prasasti Canggu, kampung Pagesangan dikenal karena jasa anamabangi-nya. Di sisi lain, jejak ketuaan kampung ini juga dapat dilihat dari tiga punden yang tersebar di kampung tersebut.
Ada tiga makam yang dipercayai oleh warga Pagesangan sebagai punden. Namun, sekarang, itu hanyalah tersisa dua punden saja. Karena salah satu pundennya sudah terdampak dari kepadatan permukiman. Lokasi punden tersebut, salah satunya, telah ditimpa oleh bangunan taman kanak-kanak (TK).
Dalam penuturan salah satu warga Pagesangan, punden tersebut dahulunya berbentuk makam yang saling berpasangan. Masyarakat percaya makam-makam tersebut memiliki sebutan seperti: mbah Gede, mbah Punosani, dan mbah Zakaria. Sayangnya, punden-punden tersebut tidak dapat dilacak secara historis. Karena nisan dari punden-punden tersebut sudah mengalami pemugaran.
Namun, setidaknya, punden tersebut dapat menjadi salah satu bukti lain dari ketuaan kampung ini. Karena masyarakat percaya bahwa kehadirannya sudah ada sejak lama. Adapun, punden juga selalu dilekatkan dengan orang yang dihormati maupun babad desa dari suatu daerah tertentu. Meskipun punden tersebut masih belum mendapatkan pelacakan yang lebih serius, namun sekarang warga Pagesangan haruslah berbangga.
Karena, penggambaran kampungnya sudah dapat dilihat asal-mulanya melalui suatu prasasti Canggu Trowulan I. Kehadirannya telah dicatat di dalamnya. Bahkan daerah ini juga menyimpan suatu sejarah panjang ihwal jasa penambangan. Dari hasil pelacakan berbasis prasasti, ini, tentu saja, dapat membantu warga Pagesangan untuk menetapkan hari jadinya. Karena, berdasarkan penuturan warga, hari jadi Pagesangan selalu dirayakan dengan sedekah bumi yang berbasis pada hari pahlawan saja. Mereka masih belum memiliki rujukan secara kuat ihwal hari jadi kampungnya.
Dengan begitu, melalui penemuan nama Gsang di dalam prasasti Canggu, masyarakat Pagesangan dapat merayakan hari jadinya berdasarkan sumber historis maupun arkeologis. Karena sumber tersebut justru semakin melekatkan citra kampung ini sebagai suatu kampung budaya—selain aktif memiliki kesenian ludruk di dalamnya.
Singkatnya, warga kampung Pagesangan haruslah berbangga diri. Karena mereka, sebagai pemangku budayanya hari ini, memiliki suatu rekam jejak panjang ihwal kampungnya. Identitasnya telah mengakar semenjak masa Majapahit melalui peran jasa penambangannya (anambangi).
*tulisan ini berangkat dari inisiatif yang diambil oleh warga Pagesangan, Kelompok Ludruk Warna Budaya, dan T.P. Wijoyo dari Begandring Surabaya. Ini adalah salah satu bagian dari diskusi panjang sebelum menunju sarasehan budaya di kampung Pagesangan.
0 Comments