Arek Surabaya Merebut Ruang Kota
M. Khoirurrizqi Awalalul M | Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Jember | Jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa Tegal Boto |

Memasuki awal abad ke-20 banyak tanah di wilayah Surabaya dikuasai oleh partikelir (Swasta). Mereka menyewakan tanah pada penduduk untuk dijadikan tempat tinggal.  Hubungan yang berlaku dalam sistem sewa tersebut adalah buruh menyetor hasil pertanian dan uang sewa yang wajib dibayar kepada tuan tanah. Kondisi ini terjadi semenjak  diterapkannya Agrarische Wet tahun 1870.  Peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta dengan modal besar untuk mendapatkan hak milik tanah (Erfpacht) hingga 75 tahun.

Penduduk yang telah mendirikan rumah di atas tanah partikelir harus terusir ketika tuannya menjual tanah tersebut kepada pihak Gemeente (Pemerintahan Kotapraja) Surabaya.  Kasus ini banyak terjadi di wilayah Surabaya Selatan sebagai tujuan pembangunan kota.  Hageman (1859) menulis bahwa sejak pertengahan abad-19, wilayah Selatan memang banyak dikuasai partikelir dengan memanfaatkan penduduk sebagai buruh untuk mengolah lahan terbuka.  Menurutnya, banyak penduduk saat itu masih bersifat rural dengan mayoritas adalah petani.

Fokus pembangunan yang dilakukan oleh Gemeente Surabaya adalah untuk melayani golongan Eropa yang semakin banyak berdatangan.  Pembelian tanah partikelir bermula di daerah Keputran Lor.  Tillema yang dikutip dalam buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960 karya Purnawan Basundoro mengatakan bahwa tanah partikelir di wilayah Keputran Lor telah dijual oleh Tjhin Tjhik Kong Soe pada tahun 1888.  Pembelinya adalah perusahaan pengembang perumahan ‘Bouwmaatschappij Keputran’.  Proses pembangunan wilayah tersebut dimulai pada awal 1900-an.  

Sebagai akibat dari pembangunan, banyak penduduk yang terusir kemudian menempati kampung di pinggiran perumahan elit Eropa.  Mereka ini lah yang secara tidak sadar membentuk subkultur Arek. Bentuk gerakan mereka yang sempat tercatat adalah pembangkangan sipil oleh beberapa kampung di Surabaya tahun 1915-1916.  Dalam kaitannya dengan fenomena abad kedua puluh, maka upaya tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari gerbong pergerakan nasional.  Bahkan dua tokoh yang tercatat sebagai motor pembangkangan tersebut, yaitu: Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti merupakan anggota Sarekat Islam (SI).  SI merupakan salah satu partai politik yang secara sadar melawan kesewenang-wenangan tuan tanah di Kota Surabaya.

Mas Prawirodihardjo adalah warga Kampung Ondomohen (Salah satu pemukiman tua di Kecamatan Genteng, Surabaya) yang bekerja sebagai pengawas pembangunan.  Sedangkan, Pak Siti alias Sadikin adalah warga Kampung Kedondong, Keputran Lor.  Ia bekerja sebagai mandor kereta api (Purnawan, 2009). Keduanya berpendapat bahwa tidak seharusnya penduduk membayar sewa atas tanah partikelir yang sebenarnya milik mereka sendiri.     Tepatnya pada tahun 1915 hingga 1916 pemikiran Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti alias Sadikin semakin menyebar luas sebagai respon atas pengusiran dalam proses pembangunan pemukiman Eropa.

Bentuk pembangkangan sipil, yang dilakukan saat itu, adalah penolakan terhadap segala bentuk kewajiban kepada tuan tanah partikelir.  Penolakan tersebut di antaranya adalah menolak membayar sewa tanah serta menolak untuk memberi setoran hasil pertanian.  Bahkan penduduk juga menolak kepala kampung yang dipilih oleh partikelir, dan menunjuk kepala kampung mereka sendiri.  Beberapa diantara mereka secara sengaja menebangi pohon-pohon dan menggunakan tanah kosong partikelir seakan milik mereka sendiri.

Selain penduduk kampung Keputran Lor, yang telah merasakan dampak dari pengusiran secara langsung, keresahan ternyata juga merembet ke banyak kampung di Surabaya yang menempati tanah-tanah partikelir.  Purnawan mencatat bahwa pada tahun 1916 banyak penghuni tanah partikelir, yang belum dijual atau dibangun perumahan, mengajukan gugatan terhadap tuan tanah ke Landraad.  Saat itu, hasil persidangan ternyata memihak kepada tuan tanah.  Mereka pun mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi, yaitu Raad Van Justitie yang akhirnya memutuskan bahwa penghuni tanah partikelir memiliki hak kebendaan (zakelijke rechten) di atas tanah tersebut.  Bahkan, pada 12 September 1917, pengadilan Raad Van Justitie kembali mengeluarkan keputusan yang memberikan hak milik tanah kepada para penghuni tanah partikelir dengan syarat berupa beberapa kewajiban yang harus dipenuhi terhadap tuan tanah.

Pembangkangan untuk merebut hak atas tanah dan ruang kota ini menunjukkan bahwa solidaritas Arek Surabaya yang dibangun melalui kampung-kampung telah memiliki sifat intelektual-organis.  Mereka menyadari bahwa semakin banyak perumahan mahal orang-orang Eropa dibangun, maka akan semakin kecil ruang partisipasi mereka di tengah kota.  Belum lagi banyak pembangunan industri yang menjadikan keahlian atau pendidikan tertentu sebagai syarat pekerjaan.  Perpindahan kondisi masyarakat desa menuju perkotaan yang dialami Arek Surabaya ternyata mampu menemukan bentuk solidaritasnya sendiri dari tradisional menjadi urban dalam gerakan masyarakat kampung.

Artikel Lainnya

Kampung Kuno Pagesangan

Kampung Kuno Pagesangan

Pagesangan merupakan kampung arkais. Kehadirannya telah terekam semenjak masa Majapahit. Itu dibuktikan melalui prasasti Canggu...

Dari Ketahanan Menjadi Komoditas

Dari Ketahanan Menjadi Komoditas

Alfian Widi Santoso seorang mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga. Ia juga aktif mengelola buletin sejarah "De...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *