Anugrah Yulianto Rachman–Nugi. Peneliti Arek Institute.

Karya “Orang Orang yang Berjalan dari Depan dan Belakang” merupakan karya alih wahana dari puisi yang diterbitkan di website Arek Institute. Karya ini adalah suatu eksplorasi tubuh dari seorang Adnan Guntur ketika hidup di kota Surabaya. Ia merekam kekalutan-kesibukan kehidupan perkotaan yang dirasakanya. Itu ditumpahkan dari deretan kata dalam puisinya, dan gerak tubuh serta konsep video seni pertunjukan yang dihadirkanya secara perdana melalui Sanggar Arek. 

Alih wahana karya ini juga dibantu oleh seniman visual-videografer Bernadus Deo Puspito. Mereka, baik Adnan maupun Deo, menggarap video ini dengan sangat serius. Mereka melakukan dialog dan diskusi panjang sebelum menggarap karya ini. Deo, sebagai produser-videografer karya ini, berhasil merekam dimensi kekakulatan dan kesibukan masyarakat urban sebab, itu adalah titik penting dari projek karya kali ini. Dalam karya ini, dimensi tubuh dan kesibukan kehidupan perkotaan sangat kentara.  

Secara garis besar, karya ini sebenarnya menghantarkan kembali untuk melihat ulang karya puisi dari Afrizal Malna yang berjudul “Abad yang Berlari”.  Karya itu dapat dikatakan memiliki persinggungan tema puisi yang beririsan dengan karya Adnan. Yaitu kesibukan masyarakat hal-ihwal rutinitas, yang artifisial, dan kesibukan kerja manusia modern. Afrizal berusah memotret kehidupan abad modern ini yang meletakan posisi manusia selalu dikejar-kejar oleh waktu.  

“Waktu tak mau berhenti, palu.

Waktu tak mau berhenti.

Seribu jam menunjuk waktu yang beda berbeda.

Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.”

Afrizal menyoal kehidupan masyarakat modern yang dikejar-kejar oleh waktu. Manusia, seakan-akan, diletakan olehnya sebagai manusia yang hidup pada abad yang berlari. Waktu tak mau berhenti, dan mereka dikejar-kejar olehnya. 

Berbeda dengan Afrizal, tentunya, Adnan berusaha menyerap kesibukan manusia urban dengan pengalaman tubuhnya selama penempaan kehidupan kesusastraanya di kota Surabaya. Tubuhnya ditempatkan olehnya sebagai sosok yang muak atas keriuhan kehidupan urban. Keriuhan tersebut tersebut dimunculkan pada latar video karya ini yang ditempatkan di antara jalanan yang sibuk. Latar tersebut menggambarkan lalu-lalang orang yang berjalan dari depan dan belakang—sesuai dengan judul karya ini. 

Sedangkan dimensi kemuakanya, ia tampakan dalam mimik wajah dan gerak tubuh selama adegan singkat dalam video ini. Mula-mula, ia menampakan kemuakan dalam mimik wajahnya. Lalu, ia berjalan dengan sangat lambat, dan itu sangat berlawanan dengan latar orang-orang yang berjalan dengan kencang dan berlalu-lalang. Gerak lambat dari tubuhnya, ketika berjalan, adalah sesuatu kontras dengan latarnya yang sangat kencang dan sibuk. Ini sekaligus menandai bahwa ia ingin melakukan refleksi terhadap gerak manusia. 

Dalam bagian tersebut, Adnan seakan merefleksikan kehidupan masyarakat untuk melihat lagi dimensi waktu. Ia seakan ingin berkata “apakah waktu yang berjalan terlalu cepat, atau aku yang berjalan terlalu lambat(?)”. Itu menunjukan suatu pertanyaan atas kehidupan masyarakat urban yang telah dibentuk sedemikian rupa oleh kesibukannya masing-masing. Mereka berjalan di jalanan seakan-akan sedang dikejar oleh suatu sosok raksasa, yang ingin memburu mereka, bernama Kala. Semua orang sedang berlari darinya, dan mereka mondar-mondir di jalanan. 

Berbicara tentang waktu, permasalahan tersebut tidak hanya telah dibicarakan oleh para pujangga, seperti Adnan atau Afrizal. Seorang musisi ternama, Ebiet G Ade, misalnya, dalam karyanya yang berjudul “Menjaring Matahari” juga menyuguhkan suatu refleksi kehidupan manusia atas waktu. Ia menyoal tentang gerak zaman yang semakin menggilas kehidupan manusia. 

“Roda zaman menggilas kita

Terseret tertatih-tatih

Sungguh hidup terus diburu

Berpacu dengan waktu”

Namun Ebiet sangat pesimis dalam melihat waktu sebab, manusia seolah-olah sedang mengalami petaka karenanya, dan tidak ada yang dapat menolong mereka. Ia membalutnya dengan bumbu religi bahwa yang dapat menyelamatkan manusia hanyalah Tuhan. 

Selain perkara waktu, Ada dimensi pemberontakan yang dimunculkan dalam karya ini. Hal tersebut semakin terasa ketika Adnan mulai memasang plastik kresek berwarna hitam ke tubuhnya. Ini sekaligus menandakan kenaikan tensi dari dinamika pertunjukan ini. Kresek tersebut menutupi setengah bagian dari tubuhnya. Setelah berjalan sangat lambat, Adnan mengenakan plastik tersebut, dan ia mulai menggerakan tangan dan kepalanya. Tubuhnya seakan ingin berontak untuk keluar dari sesuatu yang membelenggunya. Ia terus berjalan hingga semakin kecil dan duduk dengan kresek menutupi seluruh tubuhnya. 

Kamera pun semakin fokus merekam tubuhnya yang semakin memberontak dari sesuatu yang membelenggunya secara menyeluruh. Tubuhnya tak terlihat. Yang ada hanyalah kresek hitam membalut seluruh tubuh. Seberapa keras pun dia memberontak, kresek tersebut masih menutupinya. Adegan tersebut semakin intens dan tegang. Namun, hingga akhirnya, tubuh tersebut berhenti untuk berontak. Ia hanya terkujur. Merebahkan dirinya dan kalah dengan benda yang melekat pada tubuhnya. 

Mungkin, Ebiet benar bahwa tak ada yang dapat melawan waktu. Begitupun dengan Adnan dalam pertunjukan ini. Ia tak dapat berkutik. Betapa pun ia memberontak, tetap saja ditundukan. Ia dilahap dan hanya bisa menyerahkan tubuhnya pada waktu. Badanya terkujur tak berdaya. Manusia hanya bisa memberontak padan waktu sehingga ia dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kekalahan tersebut hadir ketika ia berpaut dengan maut. Bagian akhir dari pertunjukan ini ingin berkata seperti itu. 

Setidaknya, tubuhnya telah berusaha untuk berontak dari belenggu tersebut. Meskipun ia terkujur kaku dikalahkan sang Kala, ia telah mencoba untuk melawannya.

Artikel Lainnya

Mencari Mata di Pukul 11:11

Mencari Mata di Pukul 11:11

Adnan Guntur menerbitkan kumpulan lakon. Ia memberi judul terbitan tersebut dengan tajuk “Tubuh di Pukul 11:11”. Karya ini...

11 Tubuh pada Patjarmerah

11 Tubuh pada Patjarmerah

Retno Asih Firnanda | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[] Arek Institute...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *