Prahara 1965, Kemunculan Gambus Misri

Published by Penelitian Arek

April 11, 2022

Alfian Widi Santoso | Mahasiswa Ilmu Sejarah, Unair | Peneliti Arek Institute

Jombang merupakan daerah yang memiliki persilangan banyak subkultur Jawa. Persilangan tersebut meliputi subkultur: Arek, Mataraman, ataupun Pasisiran. Secara geografis, Jombang memang menjadi satu wilayah yang berada di tengah Jawa Timur. Itu menyebabkan jagad kesenian maupun kultural di daerah ini sangat beragam. Salah satu fenomena yang sangat menarik adalah ketegangan antara kelompok Abangan dengan Putihan. Itu memunculkan suatu arus kesenian baru di daerah ini yang di mana kesenian tersebut memiliki konteks dengan irisan subkultur maupun konflik politis yang terjadi di Jombang.

Klasifikasi kelas itu telah diungkapkan dalam buku fenomenal Clifford Geertz yang berjudul “Abangan, Santri dan Priyayi”. Tulisan Clifford Geertz ini mungkin sudah disangkal dalam penelitian terbaru, bahwa kemungkinan besar strata ini hanya bisa dipakai dalam wilayah Modjokuto saja, tidak ke seluruh Jawa (Geertz, 1983). Namun ia telah cukup memberikan gambaran atas lanskap sosiologis maupun antropologis yang terjadi di lingkungan Jombang sebab, pada periode setelahnya, kelompok yang terdapat dalam klasifikasi ini memiliki konflik horizontal. 

Dalam kajian Geertz, diungkapkan bahwa ketiga trikotomi sosial ini menjadi satu tonggak penting untuk menilik banyak hal, terlebih lagi dalam urusan anak kebudayaan seperti kesenian. Pada awal abad 20, priyayi sudah bisa atau dapat dihapuskan dalam diferensiasi ini, karena bisa dibilang priyayi sudah sibuk dengan duniawi mereka sendiri akibat program pendidikan hasil politik etis ditambah lagi dengan melemahnya pengaruh kelompok ini sendiri. Pada akhirnya, dalam klasifikasi kelompok ini pun hanya tersisa antara Abangan dan putihan saja. 

Celakanya, baik kelompok Abangan maupun Putihan seringkali berseteru dalam konteks kultural, pada masa-masa kolonialisme, Orde Lama, maupun Orde Baru. Konflik, yang cukup hebat ini, akhirnya, membuat banyak anak kebudayaan itu lahir dengan sendirinya akibat situasi zaman. Fenomena tersebut terbukti semakin memanas pada konteks kultural. Kondisi politik peralihan Orde Lama menjadi Orde Baru menyebabkan banyak pembantaian dan tindak eksklusi pada kelompok Abangan. Fenomena tersebut menyebabkan munculnya aliran kesenian baru dari kelompok Putihan, yaitu Gambus Misri.

Secara etimologi, Gambus Misri dapat dibagi menjadi dua kata, yaitu Gambus dan Misri, Gambus sendiri berarti satu seni musik yang merebak di wilayah Melayu, dan Misri berarti Mesir. Sebab, Mesir adalah salah satu poros atau kiblat daripada musik Gambus itu sendiri. Salah satu faktornya adalah kemunculan seorang penyanyi Umi Khulsum, sebagai seorang artis yang sangat terkenal di zamannya. Walaupun begitu, Gambus Misri nantinya akan berinovasi dengan sendirinya mengenai musik yang dipakainya. Terlebih lagi dengan kemunculan A. Kadir hingga Nasida Ria. Hal yang lain, Gambus Misri juga berpatron pada tari Zapin serta dagelannya berpacu pada komedi Stambul (Sugiarti: 2017).

Tulisan ini berusaha melakukan eksplorasi pada domain lingkaran politis dan kultural yang menyebabkan munculnya fenomena Gambus Misri di Jombang. Tentu saja, ini sangat berkaitan dengan trikotomi sosial yang telah diteliti oleh Geertz. Sebab, Jombang tidak luput dengan fenomena kultural yang dijelaskan oleh nya. Adapun pondok-pondok pesantren juga berdiri sangat banyak, dan kaum agraris pun juga menyebar di seluruh pedesaan (Dewi, 2019).

Latar belakang kemunculan Gambus Misri merupakan sebuah bentuk keresahan kaum santri atas hiburan mereka yang sangat bergantung pada norma-norma agama, khususnya IslamTerlebih lagi, Pada masa kejayaan kesenian Ludruk, yang menjadi manifestasi hiburan satu-satunya dalam kalangan masyarakat menengah ke bawah, pun dilarang dalam sistem sosial pesantren di sekitar tahun 1960 an. Dalam suatu wawancara Nasrul Ilahi—Seorang Budayawan Jombang—menuturkan alasan pelarangan kesenian ludruk di kelompok Putihan bahwasanya:

“Ludruk dalam perspektif kaum santri yang ketat dengan ajaran Molimo adalah sebuah hiburan orang-orang mursal, tidak mengenal agama, sebab pada kala itu pementasan Ludruk sangat erat dengan minum minuman keras, seks, judi dan hal maksiat lainnya”

Melalui penuturan tersebut, bagi kelompok Putihan, kesenian ludruk dianggap sebagai bentuk penyimpangan nilai-nilai keagamaan. Padahal kesenian Ludruk adalah suatu seni pertunjukan yang mengusung dimensi kerakyatan. Di sisi lain, baik antara kaum santri ataupun abangan ini sama-sama berada dalam tujuan yang sama, yaitu bebas dari belenggu kolonialisme. 

“Para kyai hanya bisa menganjurkan kepada para santrinya untuk mencari hiburan ala pesantren, semisal tari Zapin ataupun bermain gambus. Eh ternyata, orang-orang di luar santri yang tidak menyukai Ludruk (dalam notabene saat itu menjadi hiburan yang negatif) pun mendengar hal tersebut, dan akhirnya orang-orang di luar pesantren tersebut mencoba mengakulturasi Ludruk dengan kesenian pesantren. Akhirnya pada sekitaran satu atau dua dekade setelah Ludruk muncul; Gambus Misri pun tercipta dari ide kolektif masyarakat” Ucap Nasrul Ilahi.

Dalam wawancara tersebut, Nasrul menceritakan latar belakang kemunculan awal kesenian ini berlandaskan pada fenomena ketegangan antara kedua kelompok ini sebab, tetapi Gambus Misri sendiri juga mengadaptasi pakem kesenian Ludruk. Perbedaan signifikannya berada pada konteks lakon, dagelan, tarian, serta iringan music yang lebih bernuansa islamis. 

Pada masa Orde Lama, terjadi polemik lagi pada dua kelompok sosial ini. Sebab, pada masa tersebut, kedua kesenian ini selalu memiliki ikatan dengan kontestasi politik, terlebih lagi kontestasi ini saling memiliki segregasi dan konflik horizontal seperti perbedaan kelompok dan ajaran yang diwakili oleh trikotomi Abangan dan Putihan.

Dalam kontestasi politik ini ternyata juga melebar pada masalah kebudayaan, bahkan lebih parah daripada masa kolonial. Hal ini dapat dilihat atas permusuhan kaum komunis dengan agamis. Bahkan saja, banyak sekali tuduhan-tuduhan yang tak jelas di antara kedua kelompok ini. Dalam masalah kebudayaan, kaum komunis memiliki Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai underbow dalam masalah kebudayaan. Dalam konteks ini, Lekra selalu mensponsori pagelaran kesenian ludruk. Itu bisa dilihat dalam keputusan Kongres Nasional Lekra dalam urusan Film dan Seni Drama, bahwasanya dalam urusan Seni Drama, Lekra memiliki tugas untuk menyelidiki, menggali, meninggalkan dan mengembangkan segala macam drama yang hidup dikalangan rakyat, serta dengan didukung salah satu program kerjanya yang berupa mengusahakan pendidikan ideologi dan artistik (Yulianti & Dahlan, 2008).

Pada akhirnya, melalui keputusan Kongres Nasional Lekra ini menjadi penanda untuk konflik kebudayaan nantinya. Cukup tak bisa ditepiskan, pada periode 60 an ketegangan antara kelompok Abangan (Lekra) dan kelompok Putihan semakin menguat karena kesenian Ludruk mengangkat lakon yang sangat kontroversial pada masa tersebut. Lakon tersebut, misalnya, seperti dua judul lakon termasyhur di masanya, yaitu “Gusti Allah Ngunduh Mantu” dan “Malaikat Kimpoy” (Tempo, 2013). Hal itu menyebabkan kelompok putihan kebakaran jenggot. Bahkan di Kedungsari, Sumobito, Jombang Masyarakat di daerah tersebut mencoba menandingi kesenian Ludruk yang banyak disponsori Lekra dengan mendirikan Gambus Misri “Bintang Sembilan”–penamaan itu mengacu pada mayoritas orang desa Kedungsari adalah berorganisasi Nahdlatul Ulama (NU). 

Konflik kebudayaan ini terus berlanjut hingga meletusnya prahara 1965 yang mengakhiri riwayat Ludruk. Karena lakonya yang menyulut amarah kelompok Putihan. Walaupun begitu, sebenarnya, antara Ludruk dan Gambus Misri ini memiliki kedekatan karena sebenarnya kedua kesenian ini sama-sama memiliki keterikatan dengan lapisan masyarakat kelas bawah, dan tidak ada lagi hiburan yang lain. Sesuai penuturan Nasrul Ilahi:

“Di Sumobito sekitaran tahun 1960-an, pertunjukan Ludruk dan Gambus Misri ini saling bergantian, semisal saja, minggu pertama itu Ludruk dan minggu kedua itu Gambus Misri, fenomena itu terus berlangsung hingga vakumnya Ludruk akibat 1965”

Di sisi lain, pada peristiwa pasca prahara 1965, dapat disinyalir banyak pemain Ludruk yang mencoba mengamankan dirinya pada kelompok Gambus Misri, karena para pemain Ludruk ini tidak ingin terkena imbas dari pembantaian dan pengeksklusian kelompok Abangan Sebab, seniman Ludruk selalu diasosiasikan dengan kelompok abangan yang notabene dianggap onderbouw PKI. 

Singkat cerita, kesenian Gambus Misri muncul karena ketegangan kelompok antara kelompok Abangan dengan Putihan. Karena ketegangan tersebut, kelompok Putihan menghadirkan arus kesenian baru berdimensi islamis. Adapun kesenian ini pernah mengisi ruang kultural masyarakat Jombang secara bersamaan dengan kesenian Ludruk, namun, pada periode peristiwa berdarah 1965, kesenian Gambus Misri menjadi suaka bagi seniman-seniman ludruk yang tidak ingin dihilangkan dan dibunuh.  

Artikel Lainnya

Mengenal Kembali Jula Juli

Mengenal Kembali Jula Juli

Ketika seni tradisional Jawa Timur diperbincangkan, sorotan utama sering kali tertuju pada ludruk—sebuah kesenian pertunjukan...

Masih dari Pelabuhan yang Sama

Masih dari Pelabuhan yang Sama

Pada pengujung abad ke-19, opera Melayu dan komedi stambul digelar hampir tanpa jeda di sudut utara kota Surabaya. Aktor-aktor...

Durasim (1)

Durasim (1)

Cak Durasim selalu ditempatkan sebagai pionir dalam kesenian ludruk. Kehadirannya juga dikaitkan dengan perkembangan awal...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *