
Kota selalu diandaikan sebagai ruang yang humanis. Sebab, kehadirannya menyimpan dimensi kehidupan manusia dengan segala permasalahannya, meskipun dimensi humanitas, pada ruang tersebut, mulai ditenggelamkan oleh waktu yang terus berjalan tanpa henti. Itu menyebabkan manusia tak lagi dapat merefleksikan ketubuhan yang mereka miliki. Mereka tak dapat lagi merefleksikan kehadiran tubuh mereka sendiri, yaitu tubuh yang memiliki keutuhan pada ruang urban.
Celakanya, tubuh, yang menyimpan rasionalitas dan modernitas, selalu mengubur jiwa kemanusian di ruang urban. Masyarakat urban kemudian tidak lagi dipandang sebagai tubuh yang rill melainkan tubuh yang simbolik sehingga mereka terbentuk seperti suatu mekanisme robotik. Itu menyebabkan tubuhnya dilahap oleh waktu dan entitasnya dilipat ke dalam ruang yang artifisial.
Hal inilah yang kemudian diwujudkan oleh Adnan—Sang penyair yang menempa kehidupan kesustraanya di kota Surabaya—yang memotret sisi kehidupan di perkotaan Surabaya dengan segala kesibukan dalam pusaran waktu dan hamparan ruang. Ia menangkap keresahan tersebut ke dalam buku puisi terbarunya yang berjudul “Tubuh Yang Menyantap Dirinya Sendiri“. Sang Pujangga ini mencoba untuk bersuara terhadap kondisi Surabaya yang dipadati oleh riuh-ramai perkotaan dan pembangunan. Karya ini menghantarkan pada suatu refleksi filosifis milik Horkheimer—salah seorang filsuf yang ditempatkan sebagai salah satu pionir mazhab kritis. Ia berpendapat bahwa terdapat usaha manusia untuk menjadi rasional, tetapi hal tersebut justru mengubah manusia rasional tersebut menjadi menjadi sesuatu yang irasional kembali (Sindhunata, 2019:198). Fenoman tersebut tidak berbeda jauh seperti pembangunan yang mengabaikan ekosistem lingkungan, serta kealamian alam yang turut membekali manusia itu sendiri untuk bertahan hidup. Terlebih lagi itu menyimpan fenomena ruang sosial yang sangat indvidualistik terhadap kesibukan masing-masing. Dari sini Adnan seakan ingin menghadirkan ulang dimensi manusia yang mencoba untuk menjadi tuhan dalam diri mereka tanpa melihatnya secara utuh dalam kondisi yang terkurung.
Fenomena itu dapat dilihat melalui puisi berjudul “11 tubuh Dalam Kamar Surabaya ” termasuk halnya pada puisi berjudul “Mencari Tubuh Manusia dari Tubuh Urban”, Adnan menghadirkan berbagai macam kosa kata ala masyarakat perkotaan yang serba padat seperti halnya bus kota, knalpot bising, motor, rel kereta, supermarket/mall. Diksi-diksi tersebut menyimpan sisi hidup manusia yang diciptakan secara paksa oleh diri mereka sendiri sebagai bagian dari kemajuan peradaban. Terlebih bagaimana tubuh manusia urban mulai kehilangan jiwa kemanusiaan itu sendiri yang terjebak oleh rangkaian waktu terutama pada kalimat di bait 23-24 pada puisi tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
“…o, bagaimana bisa aku melihat kepala ku sendiri, bagaimana bisa aku mendefinisikan aku sendiri…”
Dari kalimat tersebut Sang penyair ini mulai membayangkan ada sesuatu yang terpisah antara tubuh dengan roh atau jiwa kemanusiaan yang lenyap akibat dilahap ego masing-masing dalam dimensi ruang dan waktu. Karena hal ini yang kemudian juga mengancam nilai-nilai arek Suroboyo mengenai hidup atas gotong royong, dan itu juga tertera dengan nilai egalitarian sebagai suatu konsep dalam mempersatukan interaksi sosial terutama pada masyarakat ini (Hadi dan Supratiningsih. 2018:398). Selain itu, nilai tersebut juga berangkat dari pengalaman hidup bersama pada suatu masyarakat dan bukan dari setiap pemikiran individu yang subjektif (Hadi dan Supratiningsih. 2018 :398). Ini sekaligus meneguhkan kesederajatan terhadap sesama dalam berpikir tanpa mengenal adanya suatu kasta tertentu. Sehingga prinsip inilah yang dibangun oleh arek Suroboyo. Mereka hadir dari ruang egaliter dan gotong royong. Bukan dari nilai hidup yang indivudualistik.
Puisi Adnan kemudian juga menghadirkan kritik sosial. Itu ditunjukan pada salah satu judul “Membeli Galon Dari Tubuh Tuhan”. Puisi tersebut menyandingkan Tuhan sebagai derajat yang tertinggi, tetapi hal tersebut mencerminkan keburukan manusia yang tamak akan harta berlimpah dengan dalil pembangunan kota. Itu ditunjukan dari fenomena di balik pembangunan yang juga menyimpan suatu tindakan korupsi terutama pada bait kesembilan puisi ini sebagai berikut:
“Menulis nama atau Mengkorupsi, asal ceklis duduk dengan pendingin, memakan makanan yang diambil dari Mars menggunakan jet dan helikopter”
terlebih lagi pemilihan diksi “menggelinding” sebagai suatu repetisi diksi yang sering muncul pada puisi tersebut menyimpan suatu imaji ihwal ketamakan hidup manusia urban.
Selain itu, pemilihan diksi “galon” tentunya memiliki penafsiran yang berbeda. Jika puisi ini hanya menggunakan kata “botol”, tentu saja itu tidak akan menyimpan suatu imaji atas sesuatu yang berlebih. Galon sendiri identik dengan botol air besar, yang tentunya, memiliki arti “lebih” atau “ingin dilebihkan” sehingga hal tersebut mengindikasi hidup manusia dalam serba kekurangan. Dalam pandangan psikoanalisis ala Lacan, ia menjelaskan bahwa ketika manusia lahir, mereka akan mengidentifikasi dirinya melalui kondisi yang rill, imajiner, dan yang terakhir adalah yang simbolik. Pemilihan diksi akan galon, sebagai suatu yang berlebih, menyimpan suatu kondisis teks yang simbolik atas hasrat (desire) manusia. Hal tersebut membuat manusia terjebak pada jejaring rantai penanda tersebut (Lacan, 1977 : 54-55).
Oleh karena itu, rasa ketamakan akan pembangunan dan penggambaran tempat pada puisi tersebut yang ditunjukan pada sajak berikut ini:
“tempat mewah, jas hitam, perut melebar terutama galon”
tentunya itu menjelaskan bagaimana manusia di lingkungan urban terbentuk tanpa mengenal tubuh mereka sendiri sebagai manusia yang sulit dicari terutama pada lingkungan perkotaan. Sajaknya mengandung sinisme terhadap kehidupan tersebut.
Puisi Adnan menghadirkan berbagai macam kritik sosial serta refleksi terhadap pencarian tubuh pada kota Surabaya yang hilang dalam nilai-nilai kelokalan yang terkandung serta prinsip gotong royong yang mulai pudar akibat kehidupan masyarakat yang artifisial. Sehingga puisi-puisi tersebut kemudian mempertanyakan kembali bagaimana kemudian tubuh itu dicari sebagai manusia yang otonom.
Puisi Adnan menyimpan suatu satire yang tersimpan pada jejaring tanda dalam sajaknya. Itu merupakan suatu refleksi dan pertanyaan ulang atas tubuh masyarakat urban yang telah dilahap oleh pusaran waktu dan dilipat pada hamparan ruang dalam aktivitas kehidupan masyarakat urban.
0 Comments