Sanepa Kecowa Kota: Manjing Ajur Ajer
Abdul Rahman Oka Fahrudzin | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus []

Sanepa¹ Kecowa Kota

Manjing Ajur Ajer

barangkali kota bentala tlah ditinggali 

tikus-tikus menyulap keasrian menjelma 

kengerian. Seekor Kecowa Resi 

purbakala meleburi  rotasi zaman dan waktu 

bekerja menunjuk zaman

edan, akasia,

sengon, jati mati, 

melati, edelwis, 

ilalang hilang, dan rupa penghuni 

lainya terkubur cor beton, murung memancar mata 

matahari-bulan, di antara keriuhan yang menyongsong  

Siwa sanepa kecowa 

tembang    manjing ke gendang

 telinga penghuni habitat hingga

kahyangan 

Manjing Ajur Ajer, menangislah dewa

-dewa kehancuran manusia meleburi 

semesta, ngger, meleburlah 

pada semesta yang 

renta dengan jiwa 

Tuhan, luhur cahaya 

merakit 

semesta.

Hujan dan Nyanyian Tuhan

mendung wajahmu diperbatasan 

musim gugur doa 

menganga ke langit ceruk air mata 

Tuhan tersumbat kotoran

babi berterbangan serupa kapuk 

meletus sebelum hujan

diutus, adakah Tuhan yang tak luluh bila

puisi doa sedang merayu rintik 

turun bunyi drum

perlahan, lalu 

cepat, lebih 

cepat, dari gemuruh 

angin seruling, suara gledek  simbal sesekali menggelegar, dan sepenggal lirik

ciptaan hambanya Jika surga dan neraka tak pernah ada

Masihkan kau bersujud kepada-Nya  samar Tuhan bernyanyi.

Perempuan Musim Hujan

musim hujan perempuan jatuh 

di perapian melahap yang tersisa dari nasib kayu bakar, matanya menerawang lobang 

gedek melihat airmata di pipinya 

sendiri, pikiranya mengawang sesekali meledak rupa 

gledek, 

masihkah hujan sunyi tanpa surat kabar dari ibu di sorga? atau malam akan mengirim perjumpaan dalam mimpi? atau ketegaran ayahlah yang akan pulang ke dalam jiwaku?

Kelahiran Selepas Badai Musim Berakhir

badai musim berakhir

dewi sri segera melahirkan pesta akan

diselengarakan

takir dan sandingan memenuhi tuhuh

 ladang

bumbu,                        dan beras                                  jenang

 jajanan,                  tangkep,  kembang                        abang,

 sego                   rokok,       bumbu wedang                  bumbu 

bucet, mendang/katul/empok, jagung, kembang, endog nginang,

sementara bocah-bocah capung tertawa

mengejari senja mendendangkan mantra

Asalamualaikum, kula suguh, suguh larung, sekiduk kembang melati,

 arum gandane enak rasane, Sak mantune kula

 suguh, lek enten kekurangane kula nedhi sepunten, Sak

 mantune kula suguh, lek enten lupute kula

nedhi maklum. dukure pundak, nisore gulu, tak dadekna kemantenan dina iki

Bulan di Kota Hitam

Gemerlap kota meredup. Apartemen, Mall, Hotel, gulita. Jalan raya, gang-gang, trotoar, kelam. Jelma lorong hitam. Mataku ujung jalan ke tubuhmu, sendiri langit menyelimuti sinar

wajamu melarungi selangkangan mimpi gerbong-gerbong pendatang. serupa lilin menembus lautan keruh jiwa.

            debu hanya menyelinap bening matamu, mengganjal pojok retina, tapi akan membuatmu buta Haluan kampung halaman. polusi akan merangsek ke paru-parumu tertawa, lalu membuatmu tersedak keriangan palsu. terik akan membumi hanguskan mimpi di pori-porimu. 

            tanah ini akan membunuhmu, jalan, gedung-gedung, dan rupa kemewahan imitasi, menyeret kakimu ke kota hitam, seperti jari-jari raksasa buto. 

            Lihatlah rautnya, cahaya tlah sempurna terbit, kendati  kegelapan membalut rupawan, senyumnya utuh, menggerogoti tubuhmu, tapi biarlah

—terimalah

—jemputlah di ujung

 jalan. Bulan di kota 

hitam.

Tetumbuhan dari Rahim Perempuan

air bah mengalir dari rahim tlah merobah alang-alang kumitir  lautan kutuk, tak ada hembus angin bergesakan dengan arak-arakan domba langit dan suluk burung menyamar pada rintih awan.

tampak  segalanya terbalut mendung dijilati geledek.

Dari mulut Batara Guru menyembur titah meleburi Kalagumarang. 

“kepercayaanku telah tumbuh di jiwamu, bawalah syarat seserahan lamaranku”

aku tlah menyimpan takdir futur di tanganmu yang matang—sekuntum mawar dan sepotong sajak untuknya.

***

“adakah genni berani melawan tirta?”

Barangkali tak ada kecuali Kalagumarang, menjelmakan dirinya binatang iblis; menghambakan diri pada berahi, memperkosa bumi 

kepunyaan Wisnu, lalu mulutnya komat-kamit mengutuk jadi babi hutan, sebab libido tak tercurahkan.

Jarum jam merangkak di kebinalan kian

dahaga, sementara darah Wisnu menaiki purnama kemerah-merahan; tak ada lelaki rela istrinya diperkosa dan tak ada nafsu binatang yang menyadari lakunya melewati markah.

***

Dewi Sri terisak. Tidak salah, bila ingin mengenal raut penderitaan dan ketakutan, lihatlah perempuan terpojok dikejar hantu-hantu syahwat. Dia akan tersengut-sengut sepanjang subuh

bergulir, dan matanya meratap waspada, sekalipun pada debu terseret ke pipimya sejenak, lalu berlalu, luka menusuk

alang-alang kumitir  menghapus garis tipis kemurkahan dan kesedihan, Dewi Tisnawati. Utusan Batara Guru anak panah melesat di jantung kepercayaan Dewi, bisikan dipangkuan terakhir selembut angin, 

“semayamkan tubuhku di hutan Kendayana, sebagai persembahan untuk Dewi Sri”

***

Tujuh malam jasad melebur, dari rahim perempuan tetumbuhan menyubur; 

Kepala, kelapa, pete, kemlandingan, jengkol, dan tanaman liar penghias kemolekan hutan; telapak tangan tumbuh pisang; payudara tumbuh papaya; gigi tumbuh jagung; pusar tumbuh 

pohon aren; hati tumbuh sawo dan tanjung, dan dari mata tumbuh 

padi. 

Artikel Lainnya

Mengenal Kembali Jula Juli

Mengenal Kembali Jula Juli

Ketika seni tradisional Jawa Timur diperbincangkan, sorotan utama sering kali tertuju pada ludruk—sebuah kesenian pertunjukan...

Masih dari Pelabuhan yang Sama

Masih dari Pelabuhan yang Sama

Pada pengujung abad ke-19, opera Melayu dan komedi stambul digelar hampir tanpa jeda di sudut utara kota Surabaya. Aktor-aktor...

Durasim (1)

Durasim (1)

Cak Durasim selalu ditempatkan sebagai pionir dalam kesenian ludruk. Kehadirannya juga dikaitkan dengan perkembangan awal...

Maut Merah

Maut Merah

Fajar Satriyo | Alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[] Seperti anak-anak tahun 90an pada...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *