
Sanepa¹ Kecowa Kota
Manjing Ajur Ajer
barangkali kota bentala tlah ditinggali
tikus-tikus menyulap keasrian menjelma
kengerian. Seekor Kecowa Resi
purbakala meleburi rotasi zaman dan waktu
bekerja menunjuk zaman
edan, akasia,
sengon, jati mati,
melati, edelwis,
ilalang hilang, dan rupa penghuni
lainya terkubur cor beton, murung memancar mata
matahari-bulan, di antara keriuhan yang menyongsong
Siwa sanepa kecowa
tembang manjing ke gendang
telinga penghuni habitat hingga
kahyangan
Manjing Ajur Ajer, menangislah dewa
-dewa kehancuran manusia meleburi
semesta, ngger, meleburlah
pada semesta yang
renta dengan jiwa
Tuhan, luhur cahaya
merakit
semesta.
Hujan dan Nyanyian Tuhan
mendung wajahmu diperbatasan
musim gugur doa
menganga ke langit ceruk air mata
Tuhan tersumbat kotoran
babi berterbangan serupa kapuk
meletus sebelum hujan
diutus, adakah Tuhan yang tak luluh bila
puisi doa sedang merayu rintik
turun bunyi drum
perlahan, lalu
cepat, lebih
cepat, dari gemuruh
angin seruling, suara gledek simbal sesekali menggelegar, dan sepenggal lirik
ciptaan hambanya Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkan kau bersujud kepada-Nya samar Tuhan bernyanyi.
Perempuan Musim Hujan
musim hujan perempuan jatuh
di perapian melahap yang tersisa dari nasib kayu bakar, matanya menerawang lobang
gedek melihat airmata di pipinya
sendiri, pikiranya mengawang sesekali meledak rupa
gledek,
masihkah hujan sunyi tanpa surat kabar dari ibu di sorga? atau malam akan mengirim perjumpaan dalam mimpi? atau ketegaran ayahlah yang akan pulang ke dalam jiwaku?
Kelahiran Selepas Badai Musim Berakhir
badai musim berakhir
dewi sri segera melahirkan pesta akan
diselengarakan
takir dan sandingan memenuhi tuhuh
ladang
bumbu, dan beras jenang
jajanan, tangkep, kembang abang,
sego rokok, bumbu wedang bumbu
bucet, mendang/katul/empok, jagung, kembang, endog nginang,
sementara bocah-bocah capung tertawa
mengejari senja mendendangkan mantra
Asalamualaikum, kula suguh, suguh larung, sekiduk kembang melati,
arum gandane enak rasane, Sak mantune kula
suguh, lek enten kekurangane kula nedhi sepunten, Sak
mantune kula suguh, lek enten lupute kula
nedhi maklum. dukure pundak, nisore gulu, tak dadekna kemantenan dina iki
Bulan di Kota Hitam
Gemerlap kota meredup. Apartemen, Mall, Hotel, gulita. Jalan raya, gang-gang, trotoar, kelam. Jelma lorong hitam. Mataku ujung jalan ke tubuhmu, sendiri langit menyelimuti sinar
wajamu melarungi selangkangan mimpi gerbong-gerbong pendatang. serupa lilin menembus lautan keruh jiwa.
debu hanya menyelinap bening matamu, mengganjal pojok retina, tapi akan membuatmu buta Haluan kampung halaman. polusi akan merangsek ke paru-parumu tertawa, lalu membuatmu tersedak keriangan palsu. terik akan membumi hanguskan mimpi di pori-porimu.
tanah ini akan membunuhmu, jalan, gedung-gedung, dan rupa kemewahan imitasi, menyeret kakimu ke kota hitam, seperti jari-jari raksasa buto.
Lihatlah rautnya, cahaya tlah sempurna terbit, kendati kegelapan membalut rupawan, senyumnya utuh, menggerogoti tubuhmu, tapi biarlah
—terimalah
—jemputlah di ujung
jalan. Bulan di kota
hitam.
Tetumbuhan dari Rahim Perempuan
air bah mengalir dari rahim tlah merobah alang-alang kumitir lautan kutuk, tak ada hembus angin bergesakan dengan arak-arakan domba langit dan suluk burung menyamar pada rintih awan.
tampak segalanya terbalut mendung dijilati geledek.
Dari mulut Batara Guru menyembur titah meleburi Kalagumarang.
“kepercayaanku telah tumbuh di jiwamu, bawalah syarat seserahan lamaranku”
aku tlah menyimpan takdir futur di tanganmu yang matang—sekuntum mawar dan sepotong sajak untuknya.
***
“adakah genni berani melawan tirta?”
Barangkali tak ada kecuali Kalagumarang, menjelmakan dirinya binatang iblis; menghambakan diri pada berahi, memperkosa bumi
kepunyaan Wisnu, lalu mulutnya komat-kamit mengutuk jadi babi hutan, sebab libido tak tercurahkan.
Jarum jam merangkak di kebinalan kian
dahaga, sementara darah Wisnu menaiki purnama kemerah-merahan; tak ada lelaki rela istrinya diperkosa dan tak ada nafsu binatang yang menyadari lakunya melewati markah.
***
Dewi Sri terisak. Tidak salah, bila ingin mengenal raut penderitaan dan ketakutan, lihatlah perempuan terpojok dikejar hantu-hantu syahwat. Dia akan tersengut-sengut sepanjang subuh
bergulir, dan matanya meratap waspada, sekalipun pada debu terseret ke pipimya sejenak, lalu berlalu, luka menusuk
alang-alang kumitir menghapus garis tipis kemurkahan dan kesedihan, Dewi Tisnawati. Utusan Batara Guru anak panah melesat di jantung kepercayaan Dewi, bisikan dipangkuan terakhir selembut angin,
“semayamkan tubuhku di hutan Kendayana, sebagai persembahan untuk Dewi Sri”
***
Tujuh malam jasad melebur, dari rahim perempuan tetumbuhan menyubur;
Kepala, kelapa, pete, kemlandingan, jengkol, dan tanaman liar penghias kemolekan hutan; telapak tangan tumbuh pisang; payudara tumbuh papaya; gigi tumbuh jagung; pusar tumbuh
pohon aren; hati tumbuh sawo dan tanjung, dan dari mata tumbuh
padi.
0 Comments