
M.A. Haris Firismanda merupakan mahasiswa S2 Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga
Adnan Guntur menerbitkan kumpulan lakon. Ia memberi judul terbitan tersebut dengan tajuk “Tubuh di Pukul 11:11”. Karya ini diterbitkan oleh Pagan Press. Ada lima judul lakon yang dirangkai oleh Adnan. “Mata-Mata” adalah salah satu judul lakon yang menarik untuk diulas lebih dalam. Karya tersebut memiliki alur dengan gerak maju-mandur. Itu juga menyiratkan suatu cerita atas sisi kehidupanmasyarakat urban.
Narasi tersebut disematkan ke dalam simbolisasi tubuh dan waktu. Kedua simbol tersebut menggambarkan kehidupan manusia yang terlempar ke dalam dunia keseharian (lebenswelt). Itu menyebabkan kedua entitas tersebut menjadi narasi sentral dalam lakon ini. Tubuh digambarkan berhenti di tengah pusaran waktu. Karena hal tersebut, tubuh mengalami ketiadaan di dalam dirinya.
Secara implisit ketiadaan dan keberhentian merupakan bagian dari keterlemparan manusia modern (subjek) ke dalam kehidupannya. Terlebih, masyarakat perkotaan sudah dilahap oleh waktu karena waktu yang sangat sibuk. Eksplorasi simbol pada naskah karya Adnan juga memberikan kebermaknaan atas keutuhan eksistensi yang terikat dengan waktu.
Di samping itu, naskah tersebut tidak memperlihatkan pembagian tokoh dengan jelas. Cerita ini digerakan hanya oleh sosok seorang Narator. Kehadirannya seakan menyimpan tiga peran sekaligus. Sang narator berperan baik sebagai antagonis, protagonist, maupun penegah dalam cerita. Kehadirannya sangatlah abu-abu dan menyimpan ketidakpastian penokohan dan posisinya dalam cerita.
Penokohan, yang tersentralkan dalam narrator, membuat eksplorisasi naskah ini menjadi sangat luas di dalam panggung. Artinya, sutradara dapat memilih satu bahkan lebih pemain tergantung kebutuhan pentas untuk memenuhi penokohan dalam cerita ini. Penafsiran lebih lanjut terhadap narator pada naskah ini memungkinkan para pembaca dapat lebih dalam menginterpretasi dari sudut pandang narrator sebagai penggerak cerita.
Selain itu, dari ketiga pembagian peran tokoh tersebut masing-masing memiliki pertentangan beserta konflik yang dimunculkan. Sang tokoh narator memposisikan usahanya mencapai pemenuhan diri terhadap tubuh yakni “Mata”. Namun demikian ia harus berhadapan dengan tokoh melalui sudut pandang antagonis untuk merebut bagian tubuh tersebut. Di samping itu, waktu yakni pukul 11:11 menandai sebuah keberhentian sebagai wujud dari ketidakutuhan.
Di sisi lain narrator penggerak melalui sudut pandang sebagai penengah justru memberikan semacam refleksi kembali mengenai pemposisian melalui organ tubuh tersebut, dan waktu dengan pandangan religius. Ia merepresentasikan kondisi yang berada pada ketiadaan kecuali kehadiran kembalinya kepada Tuhan. Ada pun hal tersebut memberikan pemaknaan bahwa tubuh (mata) dan waktu adalah suatu ketidakutuhan.
Penyelesaian konflik pada naskah tersebut ditutup dengan telah ditemukannya “mata” oleh tokoh utama. Namun hal tersebut turut memberikan renungan kembali atas subjektivitas tokoh terhadap suatu nilai pada keutuhannya. Ia berusaha menunjukan reaksi keberterimaan terhadap posisi tubuh sebagai keberpemilikan terhadap yang lain yakni Tuhan.
Selain itu, subjek narrator tokoh juga dihadapkan pada semacam dimensi kegelapan. Artinya dimensi tersebut ditandai dengan ketidakberadaannya yang mengikuti pukul 11:11—sebagai representasi simbol jam sibuk (rush hour). Oleh karena itu, toko narrator kemudian menginterpretasi kembali organ tubuhnya sebagai awal titik pencaharian terhadap Tuhan.
Refleksi lebih lanjut dari naskah “Mata-Mata” ini memberikan pandangan mengenai kehidupan masyarakat urban yang mengalami kondisi tidak bebas akibat kontrol oleh waktu. Selebihnya mata sebagai organ dari tubuh tidak dapat dilepaskan oleh waktu. Dua hal tersebut saling berkelindan. Namun demikian, naskah tersebut menujukan gejala simbolik atas kondisi subjek yang terbelenggu oleh dunia materiel.
Di satu sisi materialitas ini menjadi titik tolak keberangkatan subjek menuju ketiadaan dalam ruang kosong. Di sisi lain, analogi organ tubuh seperti mata dan waktu yang disimbolkan dengan angka 11:11 diartikan sebagai upaya penyair dalam memotret kondisi keterbelengguan manusia oleh adanya dimensi struktur sosial urban. Dari sini, manusia diibaratkan layaknya mesin waktu yang terus bergerak dalam ketiadaannya terhadap tubuh aslinya.
Naskah “Mata-Mata” menyiratkan suatu relasi antara tubuh dengan waktu. Keduanya saling berkelindan menghantarkan subjek terlempar dalam dunia sehari-harinya. Ada satu paradoks yang tersimpan di antara pukul 11:11 dengan tubuh yang berhenti. Di antara lalu-lalang manusia, subjek berusaha merefleksikan dirinya. Itu adalah upaya transendental dalam dirinya untuk lepas dari belenggu waktu.
Oleh sebab itu, naskah ini menyimpan suatu refleksi yang mendalam atas kehidupan manusia, khususnya masyarakat perkotaan. Sebab, mereka sudah disibukan dengan aktivitas dan pekerjaan. Manusia tidak lagi merefleksikan dirinya menjadi manusia. Mereka hanya seperti roda bergerigi di antara mesin-mesin industri.
Singkatnya, karya ini berusaha untuk memberikan tamparan bagi manusia modern. Sang Pujangga berusaha untuk mengajak pembaca ataupun penikmati pergelaran untuk merefleksikan lagi eksistensinya di tengah kelarutan dirinya.
0 Comments