Ingatan Pahit yang Tumpah dalam Ceret Teh Manis di Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo

Pabrik Gula selalu menyimpan berbagai macam ingatan kolektif hal-ihwal kolonialisme. Karena kehadirannya diprakarsai oleh rezim penjajah. Ingatan tersebut  bisa menjadi hadir dalam sebuah memori getir ataupun manis. Hal ini tentunya tidak semanis gula yang diproduksi. Salah satu riset yang membahas terkait ingatan tersebut adalah Wawan Yulianto berjudul Memory Studies Pabrik Gula Sidoarjo  (2020).

Artikelnya melakukan suatu ulasan dari sebuah karya kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Sidoarjo. Cerpen-cerpen yang diulas antara lain:

  1. Kisah Budi dan Sebutir Gula Pertemuan Beda Alam”;
  2. Seorang Gadis di Teras Rumah”;
  3. Kopi Tanpa Gula”;
  4. Hitam di Kuku Ayah”;
  5. Keputusan”;
  6. Di Bawah Pohon Kersen
  7. Seruan dari Cerobong Asap”;
  8. Gula dan Darah”;
  9. Titik Pembalasan”;
  10. Pertemanan di Pabrik Gula”;
  11. Sesaat Kemudian Hal Aneh pun Terjadi pada Diriku”;  dan
  12. Rumah di Sudut Pabrik Gula”.

Catatan ingatan kolektif yang ditulis di dalam artikel tersebut menjelaskan  bahwa terdapat tiga poin ingatan yang disinggung. Ketiga poin tersebut antara lain adalah ingatan manis, ingatan getir, dan yang terakhir adalah ingatan horor. Dari ketiga ingatan tersebut,  para penulis menghadirkan semacam beban traumatis sebagai sebuah refleksifitas di masa sekarang. Terlebih pada ingatan manis. Artinya, ingatan  manis justru menjadi sebuah pelarian utopia pengarang sebagai bentuk upaya katarsis.

Pada ingatan manis ini terdapat pada salah satu cerpen berjudul “Gula Tanpa Kopi” karya Ruri. Dalam artikel tersebut, penulis mengulas mengenai cara hidup bijak dalam mengonsumsi gula agar tidak terjadi dari adanya dampak kematian. Selain itu terdapat salah satu kutipan yang menarik dari cerpen yang dulas tersebut yakni “sesuatu yang manis dibutuhkan manis”.Artinya cerpen tersebut membeikan upaya refleksi terhadap adanya ingatan masalalu kelam yang diubah menjadi sebuah kebangkitan kembali kearah perubahan maju.

Hal tersebut mengingat sistem kebijakan cultuurstelsel (tanam paksa) yang dilakukan oleh kolonialisme. Selebihnya pada tahun 1870 kebijakan ini berganti pada sistem  sewa tanah sebagai strategi politis yang dilakukan oleh kolonialisme (Tricahyono, 2020:3). Dengan begitu lahan industri justru semakin berkembang terutama masyarakat pribumi justru mengalami eksploitasi yang juga tidak berbeda pada kebijakan sebelumnya.

Di sisi lain, untuk ingatan getir menghadirkan sejumlah  peristiwa masalalu yang dibalut oleh kondisi kekinian melalui beberapa konflik, utamanya  melibatkan pabrik gula. Artinya,  terdapat artefak ingatan kelam. Seperti halnya seputar gaji buruh pabrik yang sangat minim  bahkan problematika gaji buruh karyawan yang terlanjur telat dikirimkan hingga mengakibatkan permasalahan perekonomian. Selebihnya seorang  tokoh istri yang dijelaskan terlalu konsumtif justru merepresentasikan adanya semacam ketergantungan diri  terhadap pabrik gula.

Tidak hanya itu saja, Namun terdapat juga semacam mentalitas ambivalen terutama dalam cerpen karya Niswahikmah berjudul “Hitam di Kuku Ayah”. Berdasarkan penjelasan artikel  cerpen tersebut  bercerita mengenai sosok ayah (Buruh pabrik) yang berdandan layaknya orang kantoran. Terdapat rasa malu yang ditunjukan oleh karakter tokoh ayah kepada anaknya. Rasa malu yang diperlihatkan ialah ketidakinginannya tokoh anak mengetahui ayahnya adalah buruh kasar pabrik gula.

Selanjutnya, ada memori ihal ingatan horor. Artinya, sebuah tragedi puncak dimana penyiksaan dalam bentuk fisik serta hal-hal yang mengerikan dan tabu di ceritakan dalam sebuah latar penceritaan pabrik gula. Pada cepen yang di ulas artikel tersebut memperlihatkan cerita sedih Marlinah yang harus tewas mengenaskan akibat mesin penggiling tebu. Bukan tanpa sebab bahwa ini turut menjelaskan adanya sebuah bentuk ingatan berdarah. Bahwasannya  kehadiran industrialisasi pabrik gula turut memberikan dampak kelam bagi masyarakat pribumi

Dari sekian tragedi yang disinggung dalam artikel karya riset Wawan Yulianto tentunya memberikan respons terkait adanya ingatan sebuah konflik di masalalu. Selebihnya indutrialisasi pabrik gula di Sidoarjo khususnya  Tulangan memberikan gambaran terkait adanya sitem pencaplokan lahan sekaligus tanam paksa. Oleh karena itu, dengan penyebaran wilayah keresidenan samapi ke wilayah Sidoarjo mengakibatkan peralihan professi masyarakat tani menjadi buruh pekerja

Di lain sisi, dengan adanya ketergantungan upah dari hasil buruh pabrik gula yang kemudian membangkitkan serikat buruh.  Guna menyejahterakan para pekerja  dalam segi upah yang dilakukan oleh industri pabrik gula (Nugroho, 2015: 67-79). Walaupun pada tahun 1870 sistem tanam paksa (cultuurstelsel) mengalami penghapusan dan beralih pada pengembangan lahan secara mandiri oleh industri pabrik gula. Dampak tersebut mengakibatkan para petani justru kehilangan lahannya sekaligus mengalami krisis dengan penghasilan yang tidak sesuai.

Dari sekian ingatan tragedi yang di ulas pada artikel tersebut, merefleksikan mengenai momen bersejarah. Artinya,  kondisi Tulangan sebagai wilayah argaris telah berubah sebagai wilayah industri pabrik gula dengan adanya pencaplokan lahan dan penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme .  Selebihnya ingatan penulis saat ini mengenai kesejarahan Sidoarjo adalah buah dari adanya bentuk katarsis dalam upaya perbaikan diri atas pelarian dari adanya peristiwa  kelam yang terjadi di Tulangan sebagai tragedi sejarah

Artikel yang ditulis Wawan Yulianto tentunya menjelaskan beragam fenomena mengenai sebuah ingatan masalalu pabrik gula Tulangan Sidoarjo. Namun demikian hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dengan adanya aspek kesejarahan yang hadir. Selain fenomena ingatan  yang dialami oleh penulis saat ini tentu masih berbagai macam artefak dari tiap perspektif yang berbeda.Walaupun demikian, hal tersebut sebagai bentuk dari adanya perubahan zaman dari setiap pengalaman  mengenai ingatan industrialisasi pabrik gula.

Di samping itu, ingatan tersebut menjadi sebuah penggalian terhadap cara pandang terbaru dalam menyikapi peristiwa masalalu. Cara pandang tersebut menjadi upaya bagaimana subjek masyarakat bisa belajar dari fenomena sejarah. Selebihnya adalah  pemberdayaan untuk kemajuan di masa yang akan mendatang. Selain itu, pada kumpulan cerpen ini dalam artikel tersebut  menjadi sebuah Dark Tourism  yakni sebuah penyingkapan bijak dalam melihat fakta sejarah.

Singkatnya, pembacaan sejarah ingatan menghadirkan suatu kelam fakta sejarah. Memori tersebut tersimpan rapih di dalam kumpulan cerpen yang diterbitkan. Bahkan, itu dapat mengeksplorasi kejahatan kolonialisme melalui ingatan getir maupun horor dalam imaji narasi cerpen tersebut.

Artikel Lainnya

Mencari Mata di Pukul 11:11

Mencari Mata di Pukul 11:11

Adnan Guntur menerbitkan kumpulan lakon. Ia memberi judul terbitan tersebut dengan tajuk “Tubuh di Pukul 11:11”. Karya ini...

11 Tubuh pada Patjarmerah

11 Tubuh pada Patjarmerah

Retno Asih Firnanda | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[] Arek Institute...

Tubuh, Kota, Kala

Tubuh, Kota, Kala

Anugrah Yulianto Rachman--Nugi. Peneliti Arek Institute. Karya “Orang Orang yang Berjalan dari Depan dan Belakang” merupakan...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *