Cak Durasim dan kelompok Ludruknya banyak mengudara di gelombang-gelombang radio semenjak tahun 1939-an, dan mereka mulai menjadi tersohor melalui siaran pergelaran ludruk secara nasional karena lakon dan dagelan yang mengena di hati masyarakat. Dagelan ala Suroboyoan menjadi ciri khas dari kelompok Ludruk Durasim meskipun di periode awalnya, berdasarkan suatu berita dari majalah Soeara Niroem, untuk menciptakan naskah lakon sangatlah susah, tetapi ia berhasil memanfaatkan sumber literatur dari penerbitan karya milik Balai Pustaka dan inspirasi dari sekitar menjadi sumber utamanya (Soeara Nirom 1939). Di sisi lain, aktivitas pada periode sebelum 1939 an belum banyak bersinggungan dengan siaran di radio, seperti yang tercatat pada majalah Soeara Niroem.
Tahun 1929 menjadi bukti catatan awal pergelaran kelompok Ludruk cak Durasim, dan ia tak melakukan pentas sendirian melainkan bersama dengan rombongan lain, yaitu: kelompok ludruk Genteng (Swara Publiek 1929). Pementasan di Gresik tidaklah hanya satu kali, melainkan beberapa kali Durasim dan kelompok Ludruknya menghelat pergelaran di sana (De Indische Courant 1938). Pasar malam adalah lokasi penting dalam riwayat aktivitas berkesenian cak Durasim. Di Surabaya, ada dua lokasi pasar malam yang disebut, yaitu Pasar Malam Surabaya (Jaarmarkt) dan Pasar Malam Nasional (Panjebar Semangat 1935; Soeara ’Oemoem 1937). Warga kampung Surabaya pun menyambut pergelaran tersebut dengan membanjiri area pertunjukan karena dianggap memiliki banyolan yang lucu dan menggugah hati banyak orang (Panjebar Semangat 1938a).
Gedung Nasional Indonesia (G.N.I.) tak kalah riuhnya oleh peserta rapat yang sedang berdebat perihal keabsahan informasi dalam suatu berita yang diterbitkan oleh surat kabar Soeara Oemoem dengan tajuk “Bedanja Mekah dan Digoel”, dan dari keseluruhan 3.500 orang, yang hadir, di antaranya adalah orang-orang Arab; keadaan sangat gaduh, dan polisi hampir membubarkan kegiatan tersebut. Hingga di malam harinya, keadaan semakin riuh. Lalu, cak Durasim muncul di depan pintu masuk, dan para peserta debat menyambut kehadirannya. Mereka mempersilahkan cak Durasim untuk masuk agar dapat bergabung dalam sesi debat (Bintang Timoer 1930). Berita dari Bintang Timoer, ihwal debat publik di G.N.I., menunjukan aktivitas pergerakan Durasim yang juga terlibat dalam kegiatan perdebatan publik.
Selain aktivitas pergerakan nasionalis/anti-kolonial dari perkumpulan bumiputera, G.N.I. juga banyak sekali digunakan sebagai salah satu pusat kebudayaan dengan mengadakan pergelaran, seperti: wayang orang. Namun pada 1937an, pergelaran dan aktivitas kebudayaan di Gedung Nasional Indonesia sangatlah sepi. Itu menyebabkan aktivitas di lingkungan tersebut sunyi senyap. Kondisi tersebut menyebabkan Durasim dan kelompok ludruknya mengambil inisiatif untuk meramaikan kembali lingkungan G.N.I., dan itu berhasil menarik banyak warga kampung untuk berkumpul. Warga kampung sangat menikmati pergelaran Durasim dan Kelompok Ludruknya di G.N.I. Suasana pun makin riuh. Pengelola G.N.I. berencana untuk memberikan panggung bagi kesenian Ludruk setiap malam (Soeara Oemoem 1937).
Aktivitas berkesenian Durasim banyak terekam dalam surat kabar lokal pada periode 1929-1938. Simpul-simpul penting dari aktivitas pergerakan maupun berkesenian cak Durasim tersebar di beberapa tempat, seperti: Pasar Malam Surabaya (Jaarmarkt), Pasar Malam Gresik, Pasar Malam Nasional, kampung Grogol, dan G.N.I. Kampung Grogol, Surabaya adalah salah satu titik pergelaran rutinnya yang diadakan setiap jam 8 malam dengan berbagai macam aktivitas seni-budaya (Sin Tit Po 1931). Aktivitas pergelaran ludruk dan debat publik adalah kegiatan yang tercatat secara historis dalam bukti arsip yang mendokumentasikan rekam jejak aktivitas Durasim. Berbeda seperti pada artikel Durasim (1), aktivitas Durasim sebelum tahun 1939 banyak diwartakan dengan aktivitas pentas secara langsung ketimbang siaran di radio. Periode ini menjadi salah satu titik penting atas perkembangan awal kesenian Ludruk, karena banyak sekali dokumentasi lakon dan dagelan yang termuat pada surat kabar Panjebar Semangat pada rentang tahun 1935-1938.
Panjebar Semangat: Dokumentasi Geliat Ludruk Periode Awal
Fragmen lakon dan dagelan perkembangan kesenian Ludruk di periode awal banyak terserak di koran Panjebar Semangat. Beberapa kolom penting mencatat fragmen tersebut, dan ini sekaligus menandai catatan historis dalam perkembangan kesenian Ludruk. Adapun, kolom-kolom penting yang memuat lakon dan dagelan kesenian Ludruk di periode awal adalah kolom: Leloetjon dan Sinambi Kalane Nganggoer (Panjebar Semangat 1935a). Koran berbahasa Jawa ngoko-alus ini menyuguhkan suatu bukti historis atas wacana yang tersebar di dalam tubuh kesenian Ludruk. Di dalam kolom Sinambi Kalane Nganggoer, lakon Ludruk dalam bentuk naskah disuguhkan; cak Durasim, Seboel, Man Djamino, Tjak Besoet (Baca: Cak Besut), Santinet, dan Siti Asmoenah adalah beberapa nama yang muncul dalam kolom tersebut (Panjebar Semangat 1935a, 1938c, 1938b). Keenam nama tersebut selalu muncul dalam percakapan maupun naskah lakon Ludruk.
Lakon-lakon yang terhimpun dalam kolom Sinambi Kalane Nganggoer banyak menggunakan variasi bahasa dan isu pada masanya. Bahasa Belanda, sebagai contoh, banyak digunakan untuk menyebutkan peristilahan nama kantor pemerintahan dan kiasan dalam naskah lakon pergelaran pada periode ini. Lebih lanjut, isu populer pada masa tersebut juga terkadang dijadikan bahan cerita di dalam naskah lakon dalam beberapa cerita pada kolom ini. Naskah lakon dengan judul “Darmawisata”, misalnya, menceritakan perbandingan kebiasaan priyayi di Jawa dengan orang Amerika dalam berliburan.
“Wong-wong ing Amerika jen nganakake darmawisata malah nganti ngideri donja, ndeleng kaendahaning boewana… (Panjebar Semangat 1937)”
(orang-orang di Amerika mengadakan darmawisata malah sampai mengitari dunia, melihat keindahan buana…)
Sedangkan, dalam lakon ini, kelas priyayi yang bekerja kantoran menjadi perbandingan dari orang-orang Amerika. Kesibukannya dalam bekerja kantoran haruslah diselingi dengan kegiatan liburan untuk menyegarkan kembali diri maupun pikiran. Narasi yang termuat dalam naskah lakon ini menyimpan wacana yang mewakili kelompok priyayi. Narasi ini, tentu saja, bersinggungan erat dengan model gerakan dr. Soetomo yang juga mewakili kelompok priyayi baru (Frederick 1989).
Kedekatan cak Durasim dan kelompok Ludruknya dengan gerakan nasionalis yang berlokus di G.N.I., seperti dr. Soetomo, sangatlah dekat. Ini sekaligus menandai suatu konsolidasi antara kegiatan berkesenian dan politik di periode awal kesenian Ludruk. Cak Durasim banyak sekali memiliki persinggungan dengan study club maupun koran Panjebar Semangat yang didirikan dr. Soetomo (Cohen 2016). Kedekatan antara cak Durasim dengan pergerakan nasionalis, tentu saja, menentukan persebaran narasi yang diciptakan oleh Durasim kelak dalam kesenian Ludruk, dan itu ditunjukan dari banyaknya fragmen dagelan-lakon ludruk, aktivitas berkesenian, maupun gerakan politik cak Durasim di lingkungan G.N.I. Pada periode 1929-1938 an, lakon ataupun dagelan cak Durasim belum menyimpan semangat anti-kolonial atau perlawanan, karena ia hanya merespons ataupun menangkap fenomena sehari-hari maupun karya fiksi dari Balai Pustaka.
Di satu sisi Durasim tersohor karena kematiannya pada masa kolonialisme Jepang karena satirnya. Di sisi lain, pada periode penjajahan Belanda, kultur dunia, seperti kiasan-istilah dalam bahasa Belanda dan isu dunia juga berkelindan di dalam tubuh kesenian Ludruk. Sebagai suatu kesenian, Ludruk adalah anak zamannya. Kesadarannya melekat dengan kondisi zaman masa itu, yaitu periode penjajahan Belanda-Jepang. Di periode sebelum kematiannya, cak Durasim masih mencoba untuk mengembangkan bentuk kesenian baru yang memiliki embrio dari kesenian Lerok dan Besut (Supriyanto 2018). Residu kesenian Besut masih nampak dalam dialog yang muncul dalam koran-koran Panjebar Semangat, yaitu munculnya lakon-lakon seperti: Besut, Djamino, ataupun Asmunah. Bahkan kopiah merah ala Besut juga masih nampak dalam beberapa deskripsi historis cak Durasim (Cohen 2016).
Singkat kata, aktivitas Durasim banyak sekali menyimpan kelindan dengan gerakan nasional/anti-kolonial pada masa dr. Soetomo, dan itu terekam dalam fragmen historis, seperti pemberitaan pada kolom-kolom koran. Pergulatan kesenian Ludruk di periode awal diwarnai dengan pentas langsung (nobong) dan pergerakan politik cak Durasim di G.N.I. 1929-1938 adalah periode pencarian bentuk narasi pada kesenian Ludruk.
Daftar Pustaka
Bintang Timoer. 1930. “Openbare Debat vergadering Gadoeh Dan Dibubarkan.” Bintang Timoer, August 28.
Cohen, Matthew Isaac. 2016. Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia.
Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak Masyarakat Kota Dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia.
De Indische Courant. 1938. “Kermis-genoegens.” De Indische Courant, August 6, 4.
Panjebar Semangat. 1935a. “Ja Ikoe Sing Tak Goleki!” Panjebar Semangat, December 7, 10.
Panjebar Semangat. 1935b. “Tjak Doerasim….!” Panjebar Semangat, October 26, 16.
Panjebar Semangat. 1937. “Darmawisata.” Panjebar Semangat, December 18, 15.
Panjebar Semangat. 1938a. “Iki lo gambare tjak Doerasim…” Panjebar Semangat, October 1.
Panjebar Semangat. 1938b. “Pangoepadjiwa.” Panjebar Semangat, March 26, 15.
Panjebar Semangat. 1938c. “Selingan.” Panjebar Semangat, January 8, 15.
Sin Tit Po. 1931. “Bantoean Pada Gedong Nasional.” Sin Tit Po, August 28, 1.
Soeara Nirom. 1939. “–Loedroek Tjak Doerasim–Soerabaia. Lakon: ,,Pengaroehnja Senjoeman”.” Soeara Nirom, August 1.
Soeara ’Oemoem. 1937. “Doerasim teroes main.” Soeara Oemoem, July 13, 2.
Soeara Oemoem. 1937. “Loedroek Doerasim.” Soeara ’Oemoem, April 6.
Supriyanto, Henri. 2018. Ludruk Jawa Timur Dalam Pusaran Zaman. Malang: Beranda Kelompok Intrans Publishing.
Swara Publiek. 1929. “Harga Melawan.” Swara Publiek, March 19.
0 Comments