
Gambar 1 Menjaksikan Ludruk “Marhaen”, sketsa karya Legowo. Sumber: Harian Rakjat, 26 September 1965

Alfian Widi Santoso | Alumni Ilmu Sejarah Universitas Airlangga | Jejaring Peneliti Arek Institute.
Dalam berbagai kajian mengenai sejarah Ludruk, Lekra sering kali dijadikan sosok antagonis dalam upayanya mengembangkan kesenian Ludruk. Hal ini dapat ditunjukkan melalui laporan Tempo edisi spesial yang berjudul “Lekra dan Geger 1965” yang menyebutkan bahwa Lekra pernah melakukan ofensif kebudayaan melalui seni pertunjukan Ludruk yang mempertontonkan lakon dengan judul yang menyinggung agama seperti “Malaikat Kimpoi”, “Gusti Allah Ngunduh Mantu”, “Matine Gusti Allah”, dan lain sebagainya (Tempo 2013).
Baik itu menurut buku Saskia Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana (2020) maupun liputan khusus Tempo menjelaskan bahwa lakon-lakon tersebut tak lebih untuk memantik masyarakat pedesaan agar senantiasa kritis terhadap hak-hak tanah mereka terlebih mereka acap kali tergolong rentan dalam urusan yang berkaitan dengan hukum. Saskia Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan bahwa lakon “Matine Gusti Allah” merupakan cerita sederhana tentang sulitnya kondisi masyarakat di pedesaan, yang mana dimaksudkan untuk memperingati hari kematian Yesus Kristus atau Paskah (Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana 2020).
Pada akhirnya, fenomena mengenai mencuatnya lakon-lakon kontroversial Lekra lebih sering dimunculkan sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif, menghiraukan tentang fakta yang terkandung dalam lakon tersebut. Nantinya, masalah ini juga memunculkan narasi sejarah yang parsial namun dominan mengenai ofensif kebudayaan dengan disertai alasan paling logis yaitu keterbatasan sumber. Masalah ini juga berdampak pada hilangnya kepingan narasi yang tercecer mengenai Lekra seperti misalnya mengenai 1-5-1 dengan salah satu kombinasinya berisi “Tradisi jang baik dan kekinian revolusioner”.
Terlepas dari kontroversi tersebut, nyatanya terdapat banyak sekali upaya yang diwacanakan oleh Lekra dalam konteks seni pertunjukan tradisional yang jarang dinarasikan akibat dominasi kekuasaan anti-komunis yang dibangun pasca 1965 dan tertanam hingga hari ini melalui hegemoni kebudayaan Orde Ba(r)u.
Tulisan ini ditujukan untuk mengisi kerumpangan dalam narasi-narasi yang tersebar hari ini mengenai Ludruk Lekra. Terlebih lagi, penulisan ini didasarkan pada sumber-sumber arsip yang relatif baru dan jarang disertakan dalam narasi-narasi dominan mengenai Ludruk Lekra yang problematis tersebut. Setidaknya, hanya ada satu buku yang menggunakan sumber-sumber tersebut, yaitu dalam buku “Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Meskipun begitu, buku tersebut hanya menyajikan sumber arsip hal-ihwal Ludruk Lekra yang sangat terbatas.
Ludruk, Cak Durasim, dan Sifat Revolusionernya
Salah satu narasi yang paling besar mengenai Cak Durasim adalah perlawanannya terhadap fasisme Jepang di panggung. Parikan-nya yang fenomenal menjadikan dirinya sebagai pionir Ludruk yang memiliki sifat revolusioner serta kerakyatan. Kemunculannya pun tak lepas dari budaya kawasan periferi urban dan subkultur Arek yang tumbuh subur di Timur pulau Jawa terkhusus daerah Surabaya dan sekitarnya.
Menurut Peacock, Ludruk jarang menjamah kelompok-kelompok priayi dan santri karena beragam pendapat yang membuat Ludruk menjadi kontroversial. Kebanyakan dari penonton serta pemainnya berasal dari kelas proletar seperti penjual jajanan di pasar maupun jalanan, pengendara becak, Pekerja Seks Komersial (PSK), pelayan, dan lain sebagainya (Peacock 1987).
Penggunaan bahasa yang kasar atau ngoko menjadi corak khas dari Ludruk sekaligus subkultur Arek itu sendiri. Hal ini barangkali dipengaruhi oleh kontur budaya perkotaan yang keras dan diisi oleh para pendatang yang mencari penghidupan lebih layak. Bagi Rachman (2022), kemunculan subkultur Arek – terkhusus di Surabaya – merupakan dampak tidak langsung dari alienasi yang timbul di kawasan perkotaan era kolonialisme Belanda (Rachman 2022).
Selaras dengan argumen Rachman (2022), Peacock meninjau Ludruk sebagai kesenian rakyat atau kesenian masyarakat proletar, selain dikarenakan kedekatan Ludruk dengan organisasi kebudayaan sayap kiri, juga disebabkan oleh kemunculannya yang bisa dikata sebagai respons atas ketimpangan sosial yang terjadi di perkotaan seperti Surabaya (Peacock 1987). Seolah vis-à-vis, kehidupan perkotaan terhitung sejak era kolonial memang begitu timpang, masyarakat Eropa hidup dari societeit ke societeit, dari kafe ke kafe (Achdian 2023), sedangkan di kalangan masyarakat pribumi, mereka hidup di kampung-kampung partikelir dengan sanitasi yang buruk, atau bahkan melakukan aksi squatting di bangunan-bangunan terbengkalai karena terbatasnya akses terhadap ruang-ruang perkotaan (Basundoro 2013).
Maka tidak mengherankan jika kemunculan Ludruk yang awalnya berasal dari besutan yang ngamen di pasar-pasar, lalu menjadi sebuah kesenian yang berada di panggung dengan lakon-lakon yang dekat dengan kehidupan rakyat. Sebagai sebuah respons, Cak Durasim sebagai seorang pionir pun juga merupakan seorang aktivis pergerakan pada tahun 1930an. Kegiatannya di PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) yang dirintis oleh Dr. Soetomo menjadi titik mula perlawanannya (Rachman 2023).
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), Cak Durasim sebagai seorang seniman Ludruk pun mengadakan perlawanan sesuai dengan kapasitasnya yaitu membuat parikan bernada satir dan dinilai provokatif – yang nantinya menjadi fenomenal dan membuat dirinya harus dieksekusi mati oleh Jepang. Pada masa yang sama, Cak Durasim bahkan disinyalir mengikuti gerakan bawah tanah yang dibuat oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) – meskipun belum jelas maksud dari gerakan bawah tanah tersebut (Antariksa 2005).
Lekra dan Wacana tentang Kesenian Rakyat
“Sejak lahirnja, Lekra senantiasa menggali kekajaan kesenian Rakjat didaerah-daerah jang diwaktu-waktu sebelumnja bisa dimisalkan tambang emas jang belum diexplorasi, diusahakan diexploitasi. Seandainja Lekra tidak tampil dalam penggalian ini, emas itu tentu tidak hanja tertutup selama2nja oleh pasir, tetapi ia mungkin akan hilang entah kemana (Dokumen (I): Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudajaan Rakjat 1959).”
Joebaar Ajoeb dalam “Laporan Umum Pengurus Pusat Lekra kepada Kongres Nasional ke I Lekra”
Dengan prinsip utama bahwa “Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan”, maka apa yang diucapkan oleh Joebaar Ajoeb dalam Kongres Nasional ke I Lekra adalah sebuah keniscayaan bahwa Lekra akan senantiasa menjadikan Rakyat sebagai sumber utama pembuatan karya. Hal ini selaras dengan pernyataan Hersri Setiawan (2022) yang menjelaskan bahwa Lekra tidak memiliki tujuan untuk menciptakan seniman atau sastrawan, namun lebih pada menciptakan kesadaran berkebudayaan di kalangan masyarakat melalui cara-cara yang sudah menubuh dengan rakyat itu sendiri – dan salah satunya adalah melalui kesenian rakyat (H. Setiawan 2021).
Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi A.Y. (2008) juga menjelaskan bahwa pekerja budaya yang berada di naungan Lekra mengemban tugas kolektif yang bangkit dari kesadaran mereka sendiri untuk mengembangkan kesenian rakyat yang hanya hidup dari kampung ke kampung secara stagnan dan nantinya sudah barang tentu akan menjadi terpinggirkan dan akhirnya lenyap (Dahlan dan Yuliantri 2008).
Penggunaan kesenian rakyat menjadi satu opsi yang sangat memungkinkan karena masyarakat sudah mengenal kesenian rakyat lebih dahulu ketimbang seni-seni modern seperti opera, drama, paduan suara, dan lain sebagainya. Lekra sebagai aktor menyadari bahwa kesenian rakyat yang awalnya hanya dianggap sebagai sebuah hiburan dapat dijadikan sebagai alat penyadaran masyarakat, sebagaimana asas 1-5-1 yang berbunyi “Tradisi jang baik dan kekinian revolusioner”. Oleh karena itu, para pekerja budaya Lekra merasa perlu untuk mendirikan lembaga-lembaga kreatif yang bertujuan untuk memfasilitasi dan mengorganisir komunitas-komunitas kesenian yang sudah hidup di antara masyarakat demi “memperluas dan meninggikan” kesenian rakyat itu sendiri (Dahlan dan Yuliantri 2008).
Dalam konteks seni pertunjukan tradisional misalnya, terdapat Ludruk dari Jawa Timur yang sudah memiliki ciri khas kerakyatan dan perlawanan organik sejak awal dalam lakon-lakonnya seperti mengenai Pak Sakera, Sarip Tambak Oso, dan lain sebagainya. Bahkan, penciptaan Ludruk sendiri berasal dari perlawanan masyarakat kelas bawah, sebagaimana pionirnya, Cak Gondo Durasim dengan parikan fenomenalnya yang berbunyi perlawanan terhadap fasisme Jepang, “pagupon omahe doro, melu nippon tambah sengsoro (pagupon rumah burung dara, ikut nippon malah sengsara)”. Di tahun 1960an misalnya, Ludruk mengalami pembaruan yang hebat dan dilakukan oleh gerakan kebudayaan ‘kiri’ seperti Lekra. Dalam pengabaran HR Minggu, 31 Januari 1965 misalnya, Lekra cabang Jawa Timur menciptakan Sekolah Ludruk “Tjak Durasim” dan diikuti oleh 60 orang seniman Ludruk dari seluruh Jawa Timur.
Contoh yang lain juga dapat dibuktikan melalui kolom korespondensi lapangan dalam HR Minggu yang terbit sejak tahun 1963 dan merupakan pengganti dari ‘Ruang Kebudajaan’ dalam surat kabar Harian Rakjat. Pada HR Minggu, 14 Maret 1965 dijelaskan mengenai eksperimen ide tokoh-tokoh wayang baru yang dilukis oleh M.D. Hadi. Eksperimen tersebut mencakup dari penciptaan lakon-lakon yang bersifat kerakyatan dan terbebas dari hegemoni istana-sentris. Hal ini selaras dengan pengakuan Hersri Setiawan ketika ia menjabat sebagai Ketua Lekra cabang Jawa Tengah, yang mana Lekra cabang Jawa Tengah pernah membuat wacana tentang Wayang Fabel yang dekat dengan anak-anak dan Wayang dengan lakon-lakon kerakyatan (H. Setiawan 2021).
Lekra dan Ludruk: Apa yang Telah Dilakukan?
“Akankah Ludruk tjuma selalu ditjap sebagai seni murah dan tidak selalu akan diterima oleh golongan intelektuil?!,” begitulah ucap Bambangsio dalam tulisan korespondensinya yang berjudul “Sarasehan Lestra Surabaja Ke-II: Tentang Eksperimen Drama Ludruk” yang dimuat di HR Minggu, 24 Mei 1964. Kutipan tulisan tersebut serasi dengan pernyataan Gregorius Soeharsojo dalam buku memoarnya yang menyebutkan alasan ia menyukai Ludruk, “Aku paling menikmati Ludruk Surabaya. Dengan parikan-parikannya yang menggelitik ke sana ke mari. Humor yang sehat dari pelawak-pelawaknya yang selalu memihak pada masyarakat bawah (Goenito 2016).”
Baik pernyataan Gregorius Soeharsojo maupun pertanyaan Bambangsio menunjukkan bahwa Ludruk pada tahun 1960an tidak hanya seni pertunjukan yang hanya ditonton oleh rakyat jelata, namun juga seluruh kalangan. Dalam tulisan Bambangsio pun menyebutkan jika di era tersebut, Ludruk sedang mengalami perkembangan yang signifikan – yang juga mempengaruhi kehadiran banyak kalangan. Diundangnya Ludruk Marhaen untuk tampil di Istana Negara pada tahun 1958 dan 1964 menjadi bukti krusial mengenai pesatnya pertumbuhan audiens Ludruk sekaligus sebagai titik mula-mula pengembangan Ludruk agar sesuai dengan konteks zamannya (Harian Rakjat 1958).
Mengenai perihal ini, setidaknya terdapat beberapa momen yang perlu disoroti untuk menjelaskan tentang upaya gerakan kiri terkhusus Lekra dalam mengembangkan Ludruk sebagai tradisi yang baik dan patut dipadukan dengan kekinian revolusioner sebagaimana asas dari 1-5-1. Pertama yang terdokumentasikan melalui surat kabar Harian Rakjat adalah turut andilnya para pemain Ludruk Marhaen dalam film “Kunanti di Djokdja (1959)”. Kedua, Konferensi Lembaga Ludruk Djawa Timur pada tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus 1964 yang mana salah satu resolusi dari konferensi tersebut adalah mendukung instruksi Menteri PDK untuk mengganyang penetrasi kebudayaan imperialis. Ketiga, serentetan momen pada tahun 1965, dimana terdapat beberapa momen seperti kesekian kalinya Ludruk Marhaen diundang ke Istana Negara (Harian Rakjat 1965), pembuatan sekolah Ludruk Tjak Durasim, hingga Kongres Nasional Ludruk Seluruh Indonesia yang nantinya membentuk organisasi PERLINDO (Persatuan Ludruk Seluruh Indonesia).
Ludruk menjadi sentral ketika eksistensinya naik daun karena pembuatan film “Kunanti di Djokdja (1959)”yang melibatkan para pemain Ludruk sebagai pemeran film. Dalam iklan yang dimuat di Harian Rakjat tanggal 19 Juni 1959 menyebutkan bahwa film ini menyajikan sebuah humor segar yang mengungkap peristiwa Revolusi 1945 dalam tawa dan tangis (Harian Rakjat 1959a). Iklan tersebut juga menyebutkan bahwa film “Kunanti di Djokdja” merupakan film besar di tahun 1959 yang dapat meledakkan ibukota.
Di dalam perihal ini, setidaknya terdapat sebuah eksperimen yang menarik, terutama upaya dalam mengintegrasikan kesenian rakyat seperti Ludruk dengan piranti-piranti modern seperti film. Menurut laporan mengenai kesuksesan film yang disutradarai oleh Tan Sing Hwat ini menyebutkan bahwa eksperimen penggabungan Ludruk dengan dunia film ditanggapi dengan positif oleh berbagai kalangan di seluruh Indonesia. Dengan menggunakan film, masyarakat Indonesia akhirnya tahu-menahu mengenai Ludruk sebagai kesenian rakyat yang hanya populer di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di lain hal, film ini juga berupaya untuk menghapuskan pengaruh amerikaisme dan indiaisme yang sedang merebak di industri film Indonesia saat itu (Harian Rakjat 1959b). Eksperimen-eksperimen yang dijalankan oleh pembuat film juga pada akhirnya membawa sang sutradara mendapatkan penghargaan FFI (Festival Film Indonesia) tahun 1960 sebagai penulis skenario terbaik (A. Setiawan 2019).
Sebagai sebuah film yang mengalami kesuksesan besar, film Ludruk “Kunanti di Djokdja” pada akhirnnya menjadi patron bagi para seniman Ludruk yang terafiliasi dengan Lekra untuk berani ikut serta dalam memodernisasikan kesenian rakyat sebagaimana asas “tradisi yang baik dan kekinian revolusioner”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil resolusi Konferensi Lembaga Ludruk Jawa Timur pertama yang dihelat dari tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus 1964. Salah satu resolusi dari konferensi tersebut adalah pernyataan kesanggupan organisasi-organisasi Ludruk yang tergabung dalam lembaga tersebut untuk aktif mengganyang film-film imperialis AS, sekaligus untuk menjadi sukarelawan yang siap mengisi kekurangan film (Harian Rakjat 1964). Dalam konferensi Lembaga yang beranggotakan 250 organisasi Ludruk itu juga menandaskan agar Ludruk tidak hanya berisi humor, namun juga harus meningkatkan kesadaran politik rakyat, mengikis tahayul, dan meningkatkan persatuan. Di lain hal, dalam konferensi tersebut juga terjadi pemilihan pucuk pimpinan Lembaga Ludruk Jawa Timur, yang di antaranya, J. Shamsudin dari Ludruk Marhaen menjadi ketua, M. Nasrip sebagai Wakil, serta posisi sekretaris diisi oleh Asmirie (Harian Rakjat 1964).
Pada tanggal 31 Januari 1965, dilaporkan oleh wartawan HR Minggu mengenai salah satu langkah konkrit pasca berjalannya Konferensi Lembaga Ludruk Djatim yang berakhir pada tanggal 1 Agustus 1964. Pembangunan Sekolah Ludruk ‘Tjak Durasim’ yang diinisiasi oleh Lembaga Ludruk Djatim menjadi langkah konkrit untuk memajukan Ludruk sebagai kesenian rakyat yang mengabdikan diri pada revolusi. Dalam laporan wartawan HR Minggu, Sekolah Ludruk ‘Tjak Durasim’ dibuka langsung oleh ketua Lembaga yaitu Sjamsuddin dan diikuti oleh 60 seniman Ludruk dari berbagai wilayah di Jawa Timur sebagai angkatan pertama (Harian Rakjat 1965a). Wartawan tersebut juga menyebutkan bahwa Sekolah Ludruk ‘Tjak Durasim’ merupakan acara yang dibentuk untuk menyambut Kongres Nasional Pertama Ludruk yang akan dilaksanakan pada bulan April yang akan datang.
Sayangnya, Kongres Nasional Ludruk tidak terjadi pada bulan April yang akan datang (Harian Rakjat 1965b), yang mana kemungkinan terlalu berdekatan dengan lawatan Ludruk Marhaen ke ibukota untuk pentas di Istana Negara untuk kesekian kalinya (Harian Rakjat 1965). Pada akhirnya, Kongres Nasional Pertama dan Festival Ludruk diadakan pada tanggal 11 hingga 16 Juli 1965 dan bertempat di Balai Pemuda, Surabaya. Kongres yang berlandaskan pada semboyan, “Pererat Pengintegrasian Ludruk dengan Rakyat dan Revolusi” (Harian Rakjat 1965c) tersebut dihadiri oleh setidaknya 25.000 seniman Ludruk menurut klaim surat kabar Harian Rakjat (Harian Rakjat 1965a).
Topik pembahasan yang diangkat dalam kongres tersebut pun beragam, misalnya, “Sedjarah Kelahiran Ludruk dan Perkembangannja”, “Masalah2 Keartistikan dalam Hubungannja dengan Massa Penonton”, dan “Masalah Pembaruan serta Organisasi Ludruk” (Harian Rakjat 1965a). Kongres tersebut juga berhasil menghasilkan banyak resolusi penting yang berkaitan untuk perkembangan Ludruk sebagai sebuah kesenian rakyat yang revolusioner, terutama dalam menyelaraskan kesenian Ludruk dengan agenda pemerintah Sukarno saat itu. Beberapa resolusi penting yang tercatat dalam laporan Harian Rakjat, antara lain:
- Ludruk harus membina kebudajaan jang berkepribadian nasional mengabdi buruh, tani, nelajan, dan pradjurit;
- Membentuk satu organisasi Ludruk jang memusat jalah PERSATUAN LUDRUK SELURUH INDONESIA (PELINDO);
- Mutlak perlunja pembaruan, untuk lebih meningkatkan kesetiaannja kepada Rakjat dan Revolusi yang sesuai dengan garis perdjuangan kaum tani, sambil meneruskan tradisi revolusionernja;
- Masalah pendidikan untuk mempertinggi mutu ideologi dan mutu artistik Ludruk;
- Menjadikan Tjak Gondo Durasim sebagai Pahlawan Ludruk;
- Masalah integrasi, para seniman Ludruk mutlak harus berintegrasi dengan Rakjat dan Revolusi;
- Festival Ludruk, untuk mendorong madju perkembangan Ludruk;
- Kerdjasama, sesuai dengan watak kerevolusionerannja, maka Ludruk sangat berkepentingan adanja kerdjasama dibidang kebudajaan dan kerdjasama dengan alat-alat negara (Harian Rakjat 1965c).
Di lain hal, Kongres Nasional Pertama Ludruk juga membicarakan beberapa pembahasan penting seperti masalah pembuatan historiografi Ludruk serta upaya bereksperimen artistik yang dapat dikembangkan dalam Ludruk. Upaya-upaya sebagaimana yang dijelaskan dalam resolusi pun menjadi satu bentuk Lekra dalam mengembangkan kebudayaan daerah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh M.H. Lukman, Wakil I CC PKI dalam sambutannya,
“Pikiran jang menganggap bahwa dengan merevolusionerkan drama daerah akan membuat drama daerah itu menghadapi kesulitan ‘pasaran’ bukan hanja tidak tepat. Tetapi sudah banjak ditolak oleh seniman-seniman drama jang revolusioner. Djustru dengan pembaruan dan peningkatan tehnik atas dasar penerusan tradisi, kegiatan seniman-seniman revolusioner telah membuktikan dapat mengembangkan drama daerah lebih tinggi mutu ideologi dan mutu artistiknja dan lebih luas penggemarnja (Harian Rakjat 1965b).”
pasca berjalannya kongres, panitia juga mengadakan Festival Pekan Pementasan Ludruk, yang mana organisasi-organisasi Ludruk dari pelbagai daerah menampilkan lakonnya dan nantinya akan ditentukan pemenangnya. Pekan tersebut dimenangkan oleh, Ludruk “Arumdalu” dari Jombang di posisi pertama, juara kedua diraih oleh tim Ludruk CGMI Surabaya, dan ketiga ditempati oleh tim Ludruk Sidoarjo. Terdapat pula juara harapan yang diisi oleh, tim Ludruk dari Kudus, Jember, Blitar, “Mawar Merah” dari Rembang, dan dari Lamongan (Harian Rakjat 1965d).
Setelah Kongres dan Pekan Pementasan Ludruk selesai, maka PERLINDO sebagai organisasi untuk menaungi Ludruk pun bergerak. Satu-satunya seruan yang masuk dalam surat kabar Harian Rakjat tertanggal 12 September 1965 adalah menyerukan agar setiap organisasi Ludruk di bawah naungan PERLINDO untuk mempelajari Takari Bung Karno. PERLINDO sekaligus memperingatkan kepada seluruh anggotanya begini,
“Sikap kita terhadap kebudajaan lama maupun kebudajaan asing adalah sikapnja revolusi nasional demokratis pula: dari kebudajaan lama itu kita kikis feodalismenja, dari kebudajaan asing kita punahkan imperialismenja (Harian Rakjat 1965e).”
Sayang beribu sayang, setelah itu, malapetaka 1965-1966 meletus. Seluruh kebudayaan tiarap, termasuk Ludruk. Semua pementasan Ludruk, kata Cak Kartolo, dilarang dan vakum selama dua-tiga tahun (Harian Rakjat 1965). Di lain hal, organisasi Ludruk pasca 1965 kerap kali berada di bawah naungan institusi militer. Ludruk di era Orde Ba(r)u berubah menjadi corong propaganda, dan bahkan kehilangan spirit Tjak Gondo Durasim yang konsekuen melawan penindasan.
DAFTAR PUSTAKA
Achdian, Andi. 2023. Ras, Kelas, Bangsa: Politik Pergerakan Antikolonial di Surabaya Abad Ke-20. Tangerang: Marjin Kiri.
Antariksa. 2005. Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa dan Lekra 1950-1965. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang: Marjin Kiri.
Dahlan, M. Muhidin, dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. 2008. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembaran Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba.
Dokumen (I): Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudajaan Rakjat. 1959. Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat.
Goenito, Gregorius Soeharsojo. 2016. Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa. Yogyakarta: Insist Press.
Harian Rakjat. 1958. “Marhaen DI ISTANA,” 12 April 1958.
Harian Rakjat. ———. 1959a. “Adv. Kunanti di Djokdja,” 19 Juni 1959.
Harian Rakjat. ———. 1959b. “Film Ludruk KUNANTI DI DJOKDJA: Peranan wanita dilakukan oleh para pria,” 20 Juni 1959.
Harian Rakjat. ———. 1965a. “Sekolah Ludruk ‘Tjak Durasim’ Surabaja,” 31 Januari 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965b. “Kongres Nasional Ludruk,” 7 Maret 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965c. “Wkl. WALIKOTA SURABAJA PADA KONGRES LUDRUK : Kobarkan terus semangat Tjak Durasim,” 18 Juli 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965d. “KONGRES NASIONAL KE-I LUDRUK SUKSES: NASAKOMKAN RRI-TV SELURUH INDONESIA,” 25 Juli 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965e. “DPP PERLINDO: DENGAN TAKARI DJADIKAN LUDRUK DUTA MASA DAN DUTA MASSA,” 12 September 1965.
Harian Rakjat . 1965. “Ludruk Marhaen di ibukota,” 28 Maret 1965.
Harian Rakjat. 1964. “KONF. LEMBAGA LUDRUK DJATIM: Bubarkan Ampai, Ritul DFI,” 9 Agustus 1964.
Harian Rakjat. ———. 1965a. “Kongres Nasional LUDRUK dibuka hari ini,” 11 Juli 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965b. “M.H. LUKMAN: Dengan semangat Tjak Durasim kobarkan ofensif revolusioner dibidang ludruk,” 13 Juli 1965.
Harian Rakjat. ———. 1965c. “Meningkatkan Ludruk atas dasar tradisi revolusionernja,” 22 Agustus 1965.
Peacock, James L. 1987. Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Chicago: University of Chicago Press.
Rachman, Anugrah Yulianto. 2022. “Kemunculan Kota, Kemunculan Arek Surabaya.” Arek Institute. 8 Januari 2022. https://www.arekinstitute.id/blog/2022/01/08/kemunculan-kota-kemunculan-arek-surabaya/.
———. 2023. “Durasim (1).” Arek Institute. 26 Desember 2023. https://www.arekinstitute.id/blog/2023/12/26/durasim-1/.
Setiawan, Andri. 2019. “Riwayat Tan Sing Hwat.” Historia. 11 September 2019.
Setiawan, Hersri. 2021. Dari Dunia yang Dikepung Jangan dan Harus: Kumpulan Surat, Esai, dan Makalah. Yogyakarta: Sekolah mBROSOT & Kunci Forum dan Kolektif Belajar.
Tempo. 2013. Lekra dan Geger 1965. Tempo. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Wieringa, Saskia E., dan Nursyahbani Katjasungkana. 2020. Propaganda & Genosida di Indonesia: Sejarah Rekayasa Hantu 1965. Disunting oleh Rahmat Edi Sutanto. 1 ed. Depok: Komunitas Bambu.
0 Comments