The C4 Playwright

The C4 Playwright

Nuzula Maghfiro | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga []

Literary works never emerge from a void. Their presence stems from critical reasoning. Through their works, writers radically unveil matters often considered taboo in life. They question, challenge, and debate normative views that obscure other meanings of life. Thus, literary works are capable of transcending taboo perspectives and understandings in life. They go beyond normative meanings that settle in the shroud of human consciousness.

Furthermore, the dimension of human existence has “consciousness” not only in awareness of what happens around them but also in self-awareness and their existence. Existence is a new Archimedean point where humans attach the world and themselves. For Kierkegaard, humans are beings always challenged to choose and make decisions in the struggle of their lives. However, many uncertainties are difficult to understand rationally, uncertainties that make humans doubt and feel anxious about their future.

Similarly, the script “C4,” the third script from the head of the Saung Teater Adnan Guntur, presents a dimension of defection from majority reasoning. Looking back at Adnan Guntur’s previous work like “Body at 11:11,” this script seems to present differently from its predecessors. The choice of “C4” as a title appears as a marker and symbolic code that can evoke various interpretations among its readers.

If delved into deeper, the code “C4” has different meanings based on various fields. In military terms, C4 is a code for a specific type of explosive used by special forces. This explosive has an effective blast power to destroy something. Meanwhile, “C4” also has another meaning in the medical field. C4 is a code for a complement compound. In other words, it can also be understood as a compound in the blood that synchronizes with the immune system. This means that an increase or decrease in C4 can cause health disorders. Therefore, C4 is expected to always be in a stable (synchronized) condition to prevent health issues in the human body.

The concepts of explosion and synchronization have led to discoveries about creation and the formation of novelty. The creation myth in the Big Bang theory, for example, explains how the explosion will form dimensions of space and time. It presents a singularity point that explodes with such force. Then, it produces matter that continues to collide and rotate until it forms again into something that expands as a result of the explosion.

In Aristotle’s cosmology, he considered his ideas to form a perfect system, where each part logically follows another. For him, the activity of movement is always caused by a certain mover. As a series of cause-and-effect laws in the universe that must end at the first cause.

Moving towards human existence, Kierkegaard introduces his philosophical understanding of human existence that seriously considers human subjectivity, emphasizing passion and grappling with their life and existence as an individual. Kierkegaard’s thought becomes the starting point for new contemplation on the meaning of human existence as a person committed to being themselves. Through this basis, Kierkegaard proposed the concept of existentialism, emphasizing the issue of divinity or godliness at the peak of his thought.

Questioning the existence of divinity always finds a potentially infinite root because humans have a tendency to acknowledge a transcendent dimension. Understanding God or the transcendent rationally is nothing but a human effort to comprehend the visible and the invisible nature. It also solidifies their belief in the existence of a god considered to influence the intricacies of life. At the same time, humans who claim not to believe in transcendence also have a desire to rationalize such non-existence. They deny because they are unable to grasp its existence. In other words, any aim to understand and reject the transcendent is proof that its presence has truly influenced human life.

A sequence of searching, explosion, creation, dimensions of space and time, and matters of divinity share a common thread that melts together. The stage of existence becomes a dimension where the souls and bodies of humans reside. Searching within the human brain will hatch novelty. Explosion will shape emotions that explore problems, leading to new creation. Then, at the point of transcendence, humans are brought to something higher, mystical, and complex.

In short, the script “C4” was born as a dimension of social criticism on existence. The poet presents how the concept of explosion and destruction can push humans towards the search for their existence. They always strive towards awareness of the transcendent dimension, and it also leads to creation and the Creator. “C4” emerges as questions never accompanied by answers to any certainty.

Sanepa Kecowa Kota: Manjing Ajur Ajer

Sanepa Kecowa Kota: Manjing Ajur Ajer

Abdul Rahman Oka Fahrudzin | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus []

Sanepa¹ Kecowa Kota

Manjing Ajur Ajer

barangkali kota bentala tlah ditinggali 

tikus-tikus menyulap keasrian menjelma 

kengerian. Seekor Kecowa Resi 

purbakala meleburi  rotasi zaman dan waktu 

bekerja menunjuk zaman

edan, akasia,

sengon, jati mati, 

melati, edelwis, 

ilalang hilang, dan rupa penghuni 

lainya terkubur cor beton, murung memancar mata 

matahari-bulan, di antara keriuhan yang menyongsong  

Siwa sanepa kecowa 

tembang    manjing ke gendang

 telinga penghuni habitat hingga

kahyangan 

Manjing Ajur Ajer, menangislah dewa

-dewa kehancuran manusia meleburi 

semesta, ngger, meleburlah 

pada semesta yang 

renta dengan jiwa 

Tuhan, luhur cahaya 

merakit 

semesta.

Hujan dan Nyanyian Tuhan

mendung wajahmu diperbatasan 

musim gugur doa 

menganga ke langit ceruk air mata 

Tuhan tersumbat kotoran

babi berterbangan serupa kapuk 

meletus sebelum hujan

diutus, adakah Tuhan yang tak luluh bila

puisi doa sedang merayu rintik 

turun bunyi drum

perlahan, lalu 

cepat, lebih 

cepat, dari gemuruh 

angin seruling, suara gledek  simbal sesekali menggelegar, dan sepenggal lirik

ciptaan hambanya Jika surga dan neraka tak pernah ada

Masihkan kau bersujud kepada-Nya  samar Tuhan bernyanyi.

Perempuan Musim Hujan

musim hujan perempuan jatuh 

di perapian melahap yang tersisa dari nasib kayu bakar, matanya menerawang lobang 

gedek melihat airmata di pipinya 

sendiri, pikiranya mengawang sesekali meledak rupa 

gledek, 

masihkah hujan sunyi tanpa surat kabar dari ibu di sorga? atau malam akan mengirim perjumpaan dalam mimpi? atau ketegaran ayahlah yang akan pulang ke dalam jiwaku?

Kelahiran Selepas Badai Musim Berakhir

badai musim berakhir

dewi sri segera melahirkan pesta akan

diselengarakan

takir dan sandingan memenuhi tuhuh

 ladang

bumbu,                        dan beras                                  jenang

 jajanan,                  tangkep,  kembang                        abang,

 sego                   rokok,       bumbu wedang                  bumbu 

bucet, mendang/katul/empok, jagung, kembang, endog nginang,

sementara bocah-bocah capung tertawa

mengejari senja mendendangkan mantra

Asalamualaikum, kula suguh, suguh larung, sekiduk kembang melati,

 arum gandane enak rasane, Sak mantune kula

 suguh, lek enten kekurangane kula nedhi sepunten, Sak

 mantune kula suguh, lek enten lupute kula

nedhi maklum. dukure pundak, nisore gulu, tak dadekna kemantenan dina iki

Bulan di Kota Hitam

Gemerlap kota meredup. Apartemen, Mall, Hotel, gulita. Jalan raya, gang-gang, trotoar, kelam. Jelma lorong hitam. Mataku ujung jalan ke tubuhmu, sendiri langit menyelimuti sinar

wajamu melarungi selangkangan mimpi gerbong-gerbong pendatang. serupa lilin menembus lautan keruh jiwa.

            debu hanya menyelinap bening matamu, mengganjal pojok retina, tapi akan membuatmu buta Haluan kampung halaman. polusi akan merangsek ke paru-parumu tertawa, lalu membuatmu tersedak keriangan palsu. terik akan membumi hanguskan mimpi di pori-porimu. 

            tanah ini akan membunuhmu, jalan, gedung-gedung, dan rupa kemewahan imitasi, menyeret kakimu ke kota hitam, seperti jari-jari raksasa buto. 

            Lihatlah rautnya, cahaya tlah sempurna terbit, kendati  kegelapan membalut rupawan, senyumnya utuh, menggerogoti tubuhmu, tapi biarlah

—terimalah

—jemputlah di ujung

 jalan. Bulan di kota 

hitam.

Tetumbuhan dari Rahim Perempuan

air bah mengalir dari rahim tlah merobah alang-alang kumitir  lautan kutuk, tak ada hembus angin bergesakan dengan arak-arakan domba langit dan suluk burung menyamar pada rintih awan.

tampak  segalanya terbalut mendung dijilati geledek.

Dari mulut Batara Guru menyembur titah meleburi Kalagumarang. 

“kepercayaanku telah tumbuh di jiwamu, bawalah syarat seserahan lamaranku”

aku tlah menyimpan takdir futur di tanganmu yang matang—sekuntum mawar dan sepotong sajak untuknya.

***

“adakah genni berani melawan tirta?”

Barangkali tak ada kecuali Kalagumarang, menjelmakan dirinya binatang iblis; menghambakan diri pada berahi, memperkosa bumi 

kepunyaan Wisnu, lalu mulutnya komat-kamit mengutuk jadi babi hutan, sebab libido tak tercurahkan.

Jarum jam merangkak di kebinalan kian

dahaga, sementara darah Wisnu menaiki purnama kemerah-merahan; tak ada lelaki rela istrinya diperkosa dan tak ada nafsu binatang yang menyadari lakunya melewati markah.

***

Dewi Sri terisak. Tidak salah, bila ingin mengenal raut penderitaan dan ketakutan, lihatlah perempuan terpojok dikejar hantu-hantu syahwat. Dia akan tersengut-sengut sepanjang subuh

bergulir, dan matanya meratap waspada, sekalipun pada debu terseret ke pipimya sejenak, lalu berlalu, luka menusuk

alang-alang kumitir  menghapus garis tipis kemurkahan dan kesedihan, Dewi Tisnawati. Utusan Batara Guru anak panah melesat di jantung kepercayaan Dewi, bisikan dipangkuan terakhir selembut angin, 

“semayamkan tubuhku di hutan Kendayana, sebagai persembahan untuk Dewi Sri”

***

Tujuh malam jasad melebur, dari rahim perempuan tetumbuhan menyubur; 

Kepala, kelapa, pete, kemlandingan, jengkol, dan tanaman liar penghias kemolekan hutan; telapak tangan tumbuh pisang; payudara tumbuh papaya; gigi tumbuh jagung; pusar tumbuh 

pohon aren; hati tumbuh sawo dan tanjung, dan dari mata tumbuh 

padi. 

Terbitan Policy Brief Seri 1

Terbitan Policy Brief Seri 1

Arek Institute merbitkan suatu Rekomendasi Kebijkan seri pertama. Karya ini adalah hasil kerja riset dari komite Pendampingan dan Penelitian Arek. Kedua komite tersebut menyusun rekomendasi ini dalam rangka melakukan pengkajian kebijakan kebudayaan di kota Surabaya. Sebab, Komite Pendampingan Arek sedang melakukan pendampingan komunitas pada kelompok kesenian Ludruk yang berada di kota Surabaya. Terbitan ini adalah salah satu rangkaian dari program advokasi komite Pendampingan Arek.

Adapun pengunduhan berkas tersebut dapat klik tautan di bawah ini:

Maut Merah

Maut Merah

Fajar Satriyo | Alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[]

Seperti anak-anak tahun 90an pada umumnya, ingatan masa kecilku dipenuhi oleh tayangan televisi yang menayangkan huru-hara. Beberapa tahun berlalu, tapi aku masih sanggup membayangkan bencana itu dengan jelas. Kadang ingatan mengenai tayangan itu sekelebat datang mengganggu lamunanku.

            Dulu aku kerap menonton siaran sepak bola malam. Memperhatikan setiap gerak-gerik dari pemain dan memperagakannya di lapangan desa esok harinya. Atau juga menjadi komentator dadakan bersama bapak sembari menggunjing tim jagoan yang kebobolan.

            Setidaknya, hal itu begitu menyenangkan bagi masa anak-anakku. Meski terkadang aku kerap bangun kesiangan, dan terkena sumpah serapah ibu sebab bolos sekolah. Aku menyukai masa lalu ini—sebelum maut biru merusak sepak bola dan masa anak-anakku.

            Aku masih ingat betul, waktu Maut Merah terjadi. Selepas televisi menyiarkan peringatan-peringatan September kelam yang menurut bapak hanya seremonial belaka dan penuh tipu daya. Kami berdua memutuskan untuk melupakan teatrikal pertelevisian dengan menonton siaran sepak bola.

            Seperti lalu-lalu, bapak akan menyeduh secangkir kopi hitam untuk melawan badai rasa kantuk yang menjemukkan. Sesekali, aku pun boleh menyeruput secangkir kopi agar tetap menemaninya begadang. Dengan syarat harus sembunyi-sembunyi dari ibu yang melarangku untuk meminum kopi.

            Pertandingan selama sembilan puluh menit berjalan serasa begitu cepat. Kedua tim berbalas serang. Membuahkan hujan gol dalam suasana langit malam yang mendung. Satu gol dari tim tuan rumah langsung dibalas gol beruntun dari tim tamu. Begitu mengasyikkan sepak bola yang saling serang ini.

            Berbeda dengan sepak bola Italia yang berfilosofi bertahan. Negara kami punya filosofi sepak bola yang menyerang dan mengandalkan kecepatan-kecepatan dari winger. Memang masih kalah jauh dengan Jogo Bonito dari legenda Brazil serupa Neymar dan Vini. Tapi kelihaian pemain kami di lapangan setidaknya jadi obat penangkal setelah Timnas tidak pernah lolos piala dunia.

            Begitulah fakta yang terjadi saat itu. Obat kegagalan piala dunia, kami lampiaskan dalam liga sepak bola. Bahkan, bapak jauh lebih Spartan dari yellow wall untuk urusan mendukung tim jagoannya. Sepak bola notabene menjadi kepercayaan kedua setelah agama. Itu yang telah tertanam dalam hati seluruh supporter.

            Kedatangan Maut Merah yang telah merusak kepercayaan supporter tak terkecuali bapak. Selepas pertandingan berakhir dengan kemenangan tim tamu, aku hanya dapat melihat asap tebal menyelimuti. Bukan dari kabut mendung atau flare. Siaran langsung terputus berselang beberapa menit kemudian.

            Kami berdua pun memutuskan untuk langsung tidur setelah menghabiskan secangkir kopi. Tidur dengan rasa penasaran dan tanya yang belum terjawab.

“Mas, semalam terjadi ricuh. Tembak-tembakan di lapangan. Semuanya kalang kabut. Untung mas, untung, aku selamat.” ujar suara parau dari seorang lelaki.

            Aku hanya dapat menguping dari balik tembok kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang tamu. Tidak jelas kudengar perbincangan antara bapak dan lelaki tamunya. Sesekali nadanya parau. Tak jarang, ia menangis tersedu-sedu mengutarakan kejadian yang terjadi di dalam stadion.

            Sekilas, seperti sebuah kepingan-kepingan yang kulihat dari televisi dan kudengar dari lelaki bersuara parau, stadion menjadi tempat eksekusi. Begitu pikiran sederhanaku menyimpulkan.

            Perbincangan di ruang tamu sudah tidak terdengar, aku segera beranjak menemui bapak. Tamunya telah pamit pulang. Sementara, bapak terduduk dengan raut wajah yang tersedu-sedu. Hatinya pasti teriris mendengar peristiwa yang terjadi semalam.

            “Memangnya apa yang sebenarnya terjadi di stadion semalam pak?” tanyaku spontan.

            Bapak terkesiap melihatku. Tidak menyadari sebelumnya bahwa aku berada di sampingnya. Ia berdiri dan berjalan dengan langkah gontai. 

“Tidak ada. Ini tragedi, Maut Merah.” jawabnya sambil beranjak.

            Kejadian semalam menjadi tragedi kelam bagi sepak bola terutama untuk supporter seperti kami.  Empat puluh hari berturut-turut bapak mengajakku ke stadion setiap sore. Dengan pakaian serba hitam, kami menaburkan bunga di hadapan patung Singa lalu memanjatkan doa.

            “Ada ratusan nyawa yang belum diadili disini.” ucap bapak sambil mengelus kepalaku.

            Aku memandang bapak yang terisak. Uban telah tumbuh di sekitar rambutnya, jiwa mudanya tak bergema seperti beberapa tahun lalu. Kejadian sore itu tidak akan pernah luput dari ingatanku. Semenjak saat itu, aku jadi tau mengenai tragedi Maut Merah.

            Setelah empat puluh hari berselang, kami rutin mengunjungi patung singa—yang dikeramatkan—setiap seminggu sekali di hari Sabtu. 

            “Kenapa kita tetap datang kemari pak?”

            “Kita datang untuk menuntut keadilan. Sampai keadilan itu benar-benar datang.”

            Ucapan bapak saat itu benar-benar membuatku bingung. 

            Setahun berselang, kuketahui lelaki—yang datang ke rumah selepas tragedi Maut Merah—meninggal dunia. Bapak benar-benar terpukul mengenai kabar duka itu. Tanpa sepengetahuanku, bapak lebih sering mengunjungi stadion. 

            Delapan tahun berlalu begitu cepat. Seperti tragedi yang sudah-sudah, Maut Merah pun cepat dilupakan oleh pengadil. Aku baru saja menuntaskan studi di Yogyakarta. Melupakan kebiasaan hari Sabtu bersama bapak mengunjungi stadion, menaburkan bunga di patung singa, serta memanjatkan doa.

            Begitu pula dengan sepak bola. Membicarakan sepak bola di sini membuatku ingin muntah. Permasalahan-permasalahan yang terus menghantui selama beberapa dekade tak kunjung selesai. Para pengurus yang hanya ingin memalak antusias kami para supporter. Mirip sosok preman di terminal.

            “Bapakmu masih kerap mengunjungi stadion.” ungkap ibu saat meneleponku.

            Air mataku berlinang. Terbayang langkah bapak yang ringkih menyusur jalanan dan berdiri menahan rasa dingin dari hujan yang menggigilkan tubuhnya. Secepat kabar yang sampai, aku memutuskan untuk pulang setelah mengetahui bapak mempunyai flek hitam pada paru-parunya. 

            Selama perawatan yang mengharuskan bapak bolak-balik rumah sakit, aku menggantikan kebiasannya berkunjung ke stadion. Kebiasaan Sabtu sore yang sudah lama aku tanggalkan. Kadang terbersit dalam benakku, mengapa bapak begitu kekeh datang ke stadion dan melakukan upaya tuntutan menurutku.

            Maut Merah memang sejarah kelam sepak bola. Negeri ini kerap menutut rapat kekelaman dalam sejarah peradaban mereka. Lantas apa yang perlu diadili dan ditegakkan. Keengganan selalu muncul ketika aku ingin menyampaikan ini pada bapak. Mungkin bapak masih mempercayai keadilan. Mungkin.

            Duka yang mendalam tak lama aku alami. Bapak wafat karena tak sanggup menghadapi flek hitam di paru-parunya. Hari-hari yang hampa kulalui dengan melakukan apa yang biasanya bapak lalui, berkunjung ke stadion. Tanpa digerakkan oleh apapun, aku mengunjungi stadion.

            Bukan keadilan yang aku tuntut, tapi aku merasa harus melanjutkan perjuangan bapak. Begitu Sabtu soreku seterusnya kuhabiskan. Kini aku semakin sering datang ke stadion di lain hari Sabtu. 

Terutama semenjak berkenalan dengan Laila. Perempuan berambut ikal yang begitu menarik perhatianku. Ia sekitar lima tahun jauh lebih tua, dan matanya mempunyai sorot yang tajam. 

Kami bertemu di suatu sore yang mendung dengan nuansa terasa begitu canggung ketika kami pertama berkenalan. Suasana jauh lebih cair setelah kami sering berjumpa.

            “Kamu tidak merasa bosan mencari keadilan?” tanyaku.

            Ia termangu memejamkan mata yang mirip dengan bunga Tulip yang kuncup itu sejenak.

            “Tragedi tidak butuh keadilan, tapi pertanggung jawaban.” ucapannya tegas.

            Suasana mendadak menjadi hening.

 “Aku kemari untuk berduka. Ratusan orang tak bersalah telah kehilangannya,”

            “Tak terkecuali pacarku.” suaranya kini bertambah berat.

 Ia membuka satu kancing kemeja hitamnya. Aku terperanjat melihat luka yang berada di bagian dada kirinya. “Aku diselamatkan oleh pacarku,” imbuhnya.

            Kepalaku mendadak begitu pusing, aku ingin memuntahkan isi perutku. Terdengar jelas teriakan dan isak tangis yang tidak sempat disiarkan dulu. Suara-suara yang telah dibungkam sampai sekarang. Aku jatuh lunglai, pak.

Adnan’s Poem: 11 Bodies at Patjarmerah

Adnan’s Poem: 11 Bodies at Patjarmerah

Retno Asih Firnanda | Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[]

The Arek Institute positions itself as the alpha on the main stage of Patjarmerah Surabaya. They explore the poem “11 Bodies in the Room of Surabaya,” which is found in the poetry compilation “Body Dead Devouring Itself,” through static movements and dynamic body movements. Only with a sarong, the atmosphere is sentenced to silence. Through precise movements, Adnan favors a new interpretation of the poem “11 Bodies in the Room of Surabaya,” turning it into a more pronounced play. The questioned existence appears perfect.

This work is born from the mind of a chief of the Saung Teater tribe. The poem, as a condensed work, is then given symbolic life by the following lines: “city buses, exhaust pipes…”. The poem refers to urban life conditions without discarding the perspective of change and development over time through a surrealistic point of view. Adnan presents the dimension of urban life’s bustle through poetry, and he also represents it through his body movements in this performance.

The presentation of this work, in the form of a performing art, does not control the body’s dialogue with other bodies. His body appears alone. He plays the substitute for this poem vehicle alone. The play portrays a figure of a body as it truly is in the life of a migrant. As a diaspora, Adnan Guntur tries to capture the often-experienced side of urban migrant groups in surviving. This can be seen in the following excerpt from the poem: “salted fish, tomato sambal, a half-empty basin…”. Then, he presents the figure of a body in a condition of minimal survival in this performance.

Meanwhile, the Body, lying alongside the growing rain in its poem, responds that its truth is chaotic. Then, it wants to show the dimension of emptiness and narrowness through the extended poem as follows: “a hand giving birth to one mother and another…”. It also has the meaning of the movement of a still baby body, and the body is both whimpering and moving aimlessly.

At one moment, the body movement in the performance throws the body onto a very distant edge, and it enjoys its silence. It can be implied by the following excerpt from the poem: “neighbor’s walls, corrugated iron, electrical poles”. The presence of the body is also an attempt to criticize its surrounding environment. In densely populated urban life, many residents have educational and economic levels far below average. These conditions, in the excerpts of the poem and Adnan’s body movements, show the movement of urban life that is not always about luxury.

Another dimension is the questioning of his own body. Adnan shows this body movement in his performance, and it also refers to the following excerpt from the poem: “how can I see my own head?” with a mirror. There is a body near the glass, but the body speaks without the glass and only finds its cleaner. After showing various bodies in each act, the performer’s body movement shows confusion and disarray.

This movement has meaning in this poem excerpt: “how can I define myself…”. Furthermore, the dimension of confusion deepens in this poem: “the ceiling fan spins 360 degrees…”. In his performance, Adnan shows this excerpt from the poem with body movements that look in various directions. Upon review, the body still stands and does not move. This movement shows the confusion about urban life from both the poem and the performer’s perspective.

Adnan’s poem and body movements always have an appreciation for the body’s dimension of experience. He moves as if seeing other bodies in an imaginary space. He plays with bodies that are both inside and outside. These dimensions also show individualism in each act of each movement. His body is also confined by layered walls. However, it also has a dimension of contestation over freedom. Because his body seems to want to reach the highest position to move freely, but it does not have a clear direction.

In essence, his body seems to want to escape. He wants to form an autonomous reality based on the subject’s mind and the world through different ideas at once. It also illustrates the dimension of Merleau-Ponty’s philosophy. This dimension is the experience of a body that has embodied, although the movements or poems expressed by Adnan also do not stand alone with the social products experienced by the experience of the poet’s writing. Body and world, through the term “weaving tangled fabric,” replace the consciousness of other bodies as flesh is presented by the body itself (Merleau-Ponty, 2008).

Adnan’s poetry and performance at Patjarmerah have fused flesh united in the body with a new dimension of social critique. He seems to want to declare that his body is always grappling with itself all the time. It shows a rapid and chaotic urban life development. He doesn’t have time to wait for a body that is still lying in a narrow and empty space.