Maut Merah

Maut Merah

Fajar Satriyo | Alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga | Teater Gapus[]

Seperti anak-anak tahun 90an pada umumnya, ingatan masa kecilku dipenuhi oleh tayangan televisi yang menayangkan huru-hara. Beberapa tahun berlalu, tapi aku masih sanggup membayangkan bencana itu dengan jelas. Kadang ingatan mengenai tayangan itu sekelebat datang mengganggu lamunanku.

            Dulu aku kerap menonton siaran sepak bola malam. Memperhatikan setiap gerak-gerik dari pemain dan memperagakannya di lapangan desa esok harinya. Atau juga menjadi komentator dadakan bersama bapak sembari menggunjing tim jagoan yang kebobolan.

            Setidaknya, hal itu begitu menyenangkan bagi masa anak-anakku. Meski terkadang aku kerap bangun kesiangan, dan terkena sumpah serapah ibu sebab bolos sekolah. Aku menyukai masa lalu ini—sebelum maut biru merusak sepak bola dan masa anak-anakku.

            Aku masih ingat betul, waktu Maut Merah terjadi. Selepas televisi menyiarkan peringatan-peringatan September kelam yang menurut bapak hanya seremonial belaka dan penuh tipu daya. Kami berdua memutuskan untuk melupakan teatrikal pertelevisian dengan menonton siaran sepak bola.

            Seperti lalu-lalu, bapak akan menyeduh secangkir kopi hitam untuk melawan badai rasa kantuk yang menjemukkan. Sesekali, aku pun boleh menyeruput secangkir kopi agar tetap menemaninya begadang. Dengan syarat harus sembunyi-sembunyi dari ibu yang melarangku untuk meminum kopi.

            Pertandingan selama sembilan puluh menit berjalan serasa begitu cepat. Kedua tim berbalas serang. Membuahkan hujan gol dalam suasana langit malam yang mendung. Satu gol dari tim tuan rumah langsung dibalas gol beruntun dari tim tamu. Begitu mengasyikkan sepak bola yang saling serang ini.

            Berbeda dengan sepak bola Italia yang berfilosofi bertahan. Negara kami punya filosofi sepak bola yang menyerang dan mengandalkan kecepatan-kecepatan dari winger. Memang masih kalah jauh dengan Jogo Bonito dari legenda Brazil serupa Neymar dan Vini. Tapi kelihaian pemain kami di lapangan setidaknya jadi obat penangkal setelah Timnas tidak pernah lolos piala dunia.

            Begitulah fakta yang terjadi saat itu. Obat kegagalan piala dunia, kami lampiaskan dalam liga sepak bola. Bahkan, bapak jauh lebih Spartan dari yellow wall untuk urusan mendukung tim jagoannya. Sepak bola notabene menjadi kepercayaan kedua setelah agama. Itu yang telah tertanam dalam hati seluruh supporter.

            Kedatangan Maut Merah yang telah merusak kepercayaan supporter tak terkecuali bapak. Selepas pertandingan berakhir dengan kemenangan tim tamu, aku hanya dapat melihat asap tebal menyelimuti. Bukan dari kabut mendung atau flare. Siaran langsung terputus berselang beberapa menit kemudian.

            Kami berdua pun memutuskan untuk langsung tidur setelah menghabiskan secangkir kopi. Tidur dengan rasa penasaran dan tanya yang belum terjawab.

“Mas, semalam terjadi ricuh. Tembak-tembakan di lapangan. Semuanya kalang kabut. Untung mas, untung, aku selamat.” ujar suara parau dari seorang lelaki.

            Aku hanya dapat menguping dari balik tembok kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang tamu. Tidak jelas kudengar perbincangan antara bapak dan lelaki tamunya. Sesekali nadanya parau. Tak jarang, ia menangis tersedu-sedu mengutarakan kejadian yang terjadi di dalam stadion.

            Sekilas, seperti sebuah kepingan-kepingan yang kulihat dari televisi dan kudengar dari lelaki bersuara parau, stadion menjadi tempat eksekusi. Begitu pikiran sederhanaku menyimpulkan.

            Perbincangan di ruang tamu sudah tidak terdengar, aku segera beranjak menemui bapak. Tamunya telah pamit pulang. Sementara, bapak terduduk dengan raut wajah yang tersedu-sedu. Hatinya pasti teriris mendengar peristiwa yang terjadi semalam.

            “Memangnya apa yang sebenarnya terjadi di stadion semalam pak?” tanyaku spontan.

            Bapak terkesiap melihatku. Tidak menyadari sebelumnya bahwa aku berada di sampingnya. Ia berdiri dan berjalan dengan langkah gontai. 

“Tidak ada. Ini tragedi, Maut Merah.” jawabnya sambil beranjak.

            Kejadian semalam menjadi tragedi kelam bagi sepak bola terutama untuk supporter seperti kami.  Empat puluh hari berturut-turut bapak mengajakku ke stadion setiap sore. Dengan pakaian serba hitam, kami menaburkan bunga di hadapan patung Singa lalu memanjatkan doa.

            “Ada ratusan nyawa yang belum diadili disini.” ucap bapak sambil mengelus kepalaku.

            Aku memandang bapak yang terisak. Uban telah tumbuh di sekitar rambutnya, jiwa mudanya tak bergema seperti beberapa tahun lalu. Kejadian sore itu tidak akan pernah luput dari ingatanku. Semenjak saat itu, aku jadi tau mengenai tragedi Maut Merah.

            Setelah empat puluh hari berselang, kami rutin mengunjungi patung singa—yang dikeramatkan—setiap seminggu sekali di hari Sabtu. 

            “Kenapa kita tetap datang kemari pak?”

            “Kita datang untuk menuntut keadilan. Sampai keadilan itu benar-benar datang.”

            Ucapan bapak saat itu benar-benar membuatku bingung. 

            Setahun berselang, kuketahui lelaki—yang datang ke rumah selepas tragedi Maut Merah—meninggal dunia. Bapak benar-benar terpukul mengenai kabar duka itu. Tanpa sepengetahuanku, bapak lebih sering mengunjungi stadion. 

            Delapan tahun berlalu begitu cepat. Seperti tragedi yang sudah-sudah, Maut Merah pun cepat dilupakan oleh pengadil. Aku baru saja menuntaskan studi di Yogyakarta. Melupakan kebiasaan hari Sabtu bersama bapak mengunjungi stadion, menaburkan bunga di patung singa, serta memanjatkan doa.

            Begitu pula dengan sepak bola. Membicarakan sepak bola di sini membuatku ingin muntah. Permasalahan-permasalahan yang terus menghantui selama beberapa dekade tak kunjung selesai. Para pengurus yang hanya ingin memalak antusias kami para supporter. Mirip sosok preman di terminal.

            “Bapakmu masih kerap mengunjungi stadion.” ungkap ibu saat meneleponku.

            Air mataku berlinang. Terbayang langkah bapak yang ringkih menyusur jalanan dan berdiri menahan rasa dingin dari hujan yang menggigilkan tubuhnya. Secepat kabar yang sampai, aku memutuskan untuk pulang setelah mengetahui bapak mempunyai flek hitam pada paru-parunya. 

            Selama perawatan yang mengharuskan bapak bolak-balik rumah sakit, aku menggantikan kebiasannya berkunjung ke stadion. Kebiasaan Sabtu sore yang sudah lama aku tanggalkan. Kadang terbersit dalam benakku, mengapa bapak begitu kekeh datang ke stadion dan melakukan upaya tuntutan menurutku.

            Maut Merah memang sejarah kelam sepak bola. Negeri ini kerap menutut rapat kekelaman dalam sejarah peradaban mereka. Lantas apa yang perlu diadili dan ditegakkan. Keengganan selalu muncul ketika aku ingin menyampaikan ini pada bapak. Mungkin bapak masih mempercayai keadilan. Mungkin.

            Duka yang mendalam tak lama aku alami. Bapak wafat karena tak sanggup menghadapi flek hitam di paru-parunya. Hari-hari yang hampa kulalui dengan melakukan apa yang biasanya bapak lalui, berkunjung ke stadion. Tanpa digerakkan oleh apapun, aku mengunjungi stadion.

            Bukan keadilan yang aku tuntut, tapi aku merasa harus melanjutkan perjuangan bapak. Begitu Sabtu soreku seterusnya kuhabiskan. Kini aku semakin sering datang ke stadion di lain hari Sabtu. 

Terutama semenjak berkenalan dengan Laila. Perempuan berambut ikal yang begitu menarik perhatianku. Ia sekitar lima tahun jauh lebih tua, dan matanya mempunyai sorot yang tajam. 

Kami bertemu di suatu sore yang mendung dengan nuansa terasa begitu canggung ketika kami pertama berkenalan. Suasana jauh lebih cair setelah kami sering berjumpa.

            “Kamu tidak merasa bosan mencari keadilan?” tanyaku.

            Ia termangu memejamkan mata yang mirip dengan bunga Tulip yang kuncup itu sejenak.

            “Tragedi tidak butuh keadilan, tapi pertanggung jawaban.” ucapannya tegas.

            Suasana mendadak menjadi hening.

 “Aku kemari untuk berduka. Ratusan orang tak bersalah telah kehilangannya,”

            “Tak terkecuali pacarku.” suaranya kini bertambah berat.

 Ia membuka satu kancing kemeja hitamnya. Aku terperanjat melihat luka yang berada di bagian dada kirinya. “Aku diselamatkan oleh pacarku,” imbuhnya.

            Kepalaku mendadak begitu pusing, aku ingin memuntahkan isi perutku. Terdengar jelas teriakan dan isak tangis yang tidak sempat disiarkan dulu. Suara-suara yang telah dibungkam sampai sekarang. Aku jatuh lunglai, pak.

REINKARNASI KESEKIAN

REINKARNASI KESEKIAN

 Aku tak pernah tahu mengapa segala keanehan-keanehan ini terus menempel dan melekat pada diriku, apa karena sepasang Surti yang pernah kutemui di era Warman dan era Tarjo? Aku tak pernah benar-benar memahami seutuhnya. Surti selalu membuntutiku. Menciptakan ruang jeda. Aku seakan pelarian yang tak tahu dari mana arah datang dan kemana arah untuk kembali menuju pulang.
Muhammad Daffa | Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan cerpenis di kompas.id []

Kubiarkan Warman dan orang-orang kampung menghukumku. Mereka tak akan pernah tahu tentang apa yang sebenarnya menimpaku. Kubiarkan Warman membentur-benturkan kepalaku ke gundukan batu hingga nyaris pecah. Aku benar-benar tak sadarkan diri setelahnya. Lalu seseorang seakan tiba dan memindahkan diriku ke dalam dimensi berbeda. Di sana, segalanya memang sangat jauh berbeda. Tak ada Warman. Tak ada orang-orang kampung yang beringas menghajarku. Tak ada Surti. Ah, perempuan itu. Perempuan yang pernah menghabisi tubuhku di tengah hutan pada suatu malam dikepung kabut. 

Perempuan yang pernah menghabisi seluruh gairah keperjakaan yang kumiliki. Surti Surti Surti. Kusebut namanya tiga kali. Bayangannya tiba di hadapanku. Ia tersenyum. Wajahnya penuh dengan luka-luka sayatan. Mungkinkah Warman yang melakukan itu semua? Puluhan kali aku mengalami kesialan, puluhan kali pula seseorang memindahkan diriku ke tempat lain, tempat yang sama sekali berbeda dan terasa mengasingkanku. Tak ada Surti di sini. Tak ada Warman. Hanya keriuhan orang-orang yang menontonku, seolah aku ini orang gila yang lepas dari kurungan rumah sakit jiwa. Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku? Siapa yang memindahkan diriku berkali-kali? 

*

Terkadang aku membayangkan seseorang itu bernama Maut Andareja, si tua yang bersekutu dengan kitab-kitab pemusnah jagat, konon ia adalah tangan kanan Tuhan yang dikaruniai hidup lebih dari seribu abad lamanya. Terkadang kubayangkan Maut Andareja hadir di saat kesialan-kesialan berkerumun di sekelilingku, menghajarku tanpa ampun. Kesialan-kesialan itu seolah berkata bahwa aku ini perampok, pembunuh, pemerkosa, perebut istri orang, dan lain-lain hal yang sepenuhnya aku tidak mengerti. Mengapa kesialan terus memburu ke mana pun aku berlalu? Apakah kesialan adalah seseorang yang bakal menemani aku hingga tiba waktu untuk terjun bebas dari sebuah jembatan pinggiran kota? 

Berbagai upaya aku lakukan untuk melawan kesialan. Mulai dari datang ke dukun-dukun ilmu hitam berilmu tinggi, hingga mencari kyai sakti yang memiliki karunia dari wangsit nabi-nabi di Sidratul Muntaha. Semua tak membuahkan hasil. Jika sudah begitu, seseorang misterius datang ke hadapanku seolah malaikat pencabut nyawa, tapi aku yakin dia adalah Maut Andareja, tangan kanan Tuhan. Dia selalu muncul di waktu-waktu tak terduga. Aku pun berpindah dalam sesi kehidupan lainnya. Terus saja begitu. Hingga terkadang kuharapkan kiamat dan huru-hara akhir zaman disegerakan masanya. Biar aku bisa terbebas dari semua keabsurdan ini. 

*

Beribu-ribu hari aku seorang diri di berbagai kota, berhari-hari pula kurasakan keabsurdan yang tak kunjung berhenti menimpaku. Kali ini aku mendadak terbangun di sebuah los pasar daerah terminal entah di kota apa, dan sekonyong-konyong seorang preman menghampiriku dan menodongkan senjata, kubilang tak punya uang yang bisa disedekahkan bagi tampang Rhoma Irama-nya. Ia melunjak. Ia menendangku. Ia juga menghajarku dengan tinju yang cukup kuat di bagian rahang. Aku tersungkur. Ia memanggil teman-temannya yang berjumlah puluhan. Walhasil aku kembali dijemput seseorang. Seseorang misterius yang selalu datang tepat pada waktunya. Kali ini kondisiku jauh lebih parah. Bagian dada hingga perut koyak oleh senjata tajam. Seseorang misterius itu acuh tak acuh. Ia membuatku tak sadarkan diri lagi. Bangun-bangun, aku sudah berada di dalam rumah seorang kaya raya. 

Ia mengaku duda tanpa anak. Hidup sendirian dan kadang diserang rasa frustasi. Kukatakan padanya bahwa ia cukup beruntung. Masih ada kekayaan dan segudang harta tujuh turunan yang menemaninya ongkang-ongkang sepanjang hidup. Berbanding terbalik denganku, berpindah-pindah tubuh setiap waktu. Ketika aku bilang yang sebenarnya ia justru tertawa. Ia berpikir aku bergurau. Ia berpikir aku sedang membuat lelucon yang biasa tayang di televisi saban akhir pekan. Dia justru mengatakan bahwa menemukan tubuhku di kawasan stasiun yang tak jauh dari rumahnya. Aku terheran-heran. Seseorang misterius itu pasti memiliki kesaktian setara dengan dewa. Ia bisa memindah-mindahkan diriku setiap saat, dan tugas yang dilakukannya pasti bukan tanpa alasan. Ada seseorang lain yang menyuruh untuk melakukannya. Apakah Maut Andareja? Ah, tidak mungkin. Dia tidak pernah mengurusi kehidupan manusia biasa seperti aku. Dia hanya mau mengurusi turunan raja-raja di masa lalu, sedangkan aku bukan turunan raja, dan tidak pernah ada sangkut-pautnya dengan raja-raja itu. 

*

Dulu ibu memang pernah bercerita, entah sekadar bergurau atau menakut-nakutiku, “Le, kamu ini keturunan Suparta. Iya, kamu keturunan kedua puluh satu dari Suparta. Dia seorang pertapa sakti yang pernah membantu warga desa di sini. Pada masanya, Suparta membantu warga desa yang sedang terserang wabah batuk darah. Wabah ini diyakini para tetua desa sebagai kutukan dari roh halus yang menjaga desa. Roh halus itu marah karena desa kita tercemar oleh pengaruh-pengaruh dari kebudayaan asing. Maklum, waktu itu kita masih terjajah. Desa ini saja masih dikelilingi hutan-hutan yang lebat. Bisa kamu bayangkan, Le, Suparta mengobati semua warga desa dalam waktu sekejap dan setelah itu seisi desa benar-benar aman kembali tanpa ada wabah dan gangguan lain yang mengusik!”

Sepasang mataku berbinar-binar ketika ibu menceritakannya. Ia mengingatkanku pada Surti. Surti juga seorang pendongeng yang ulung. Terlebih ketika ia sedang mencumbuiku di tengah hutan, pada malam-malam berlapis kabut. Surti. Ibu. Sepasang perempuan yang selalu aku rindukan. Tiap kali berpindah tempat ke lain waktu, aku selalu terkenang kehangatan Surti. Surti yang tak pernah bosan mendengarkan keluh-kesahku. Surti yang selalu mampu menyabarkanku ketika kawan-kawan seperjuangan mulai berkhianat padaku. Ya, kawan-kawan seperjuangan yang seharusnya bisa membantuku dalam aksi menumpas kebrengsekan para adipati justru memilih mangkir dan berbalik memfitnahku dengan sejumlah tuduhan. Mereka mengatakan bahwa aku adalah dalang di balik tewasnya orang-orang bayaran adipati yang ditugaskan menjaga perbatasan. Mereka juga mengatakan yang bukan-bukan soal Surti. Mereka bilang Surti adalah kaki tanganku untuk menjatuhkan adipati. Adipati memanggilku ke hadapannya. Kupenuhi panggilannya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Ia memenggal kepalaku dengan sebilah pedang pemberian Tarjo, kawan seperjuanganku yang sudah kuanggap adik sendiri. 

*

 Tarjo tahu bahwa hanya dengan pedang itulah ilmu kanuragan milikku bisa dilucuti. Ia tertawa puas dan berkata kepada adipati, bahwa apa yang dilakukannya terhadapku adalah sebuah tindakan yang benar. “Dewa-dewa akan memberimu banyak kebaikan!” Begitulah ia bersandiwara di hadapan adipati. Adipati-adipati di kawasan lain kemudian berkumpul di keesokan harinya, setelah kepalaku dipenggal dan dilemparkan ke sebuah jurang penuh serigala. Masih kuingat jelas bagaimana wajah adipati-adipati itu, mereka yang berkumpul menyaksikan tubuh tanpa kepalaku dipanggang dan dijadikan makanan anjing peliharaan mereka. Mereka juga menjadi saksi ketika kepalaku dilempar ke jurang serigala itu. Raut kepuasan tergambar di wajah mereka. Wajah yang penuh dengan tipu-muslihat dan akal licik.

Aku juga masih sangat ingat wajah Tarjo. Lelaki yang serupa dengan Warman. Bedanya, Warman hanya seorang pekerja rendahan yang sering dikasari oleh pimpinan kami. Sementara Tarjo, dia adalah orang terpandang dengan kekayaan melimpah ruah. Tak heran ia banyak membantu perjuangan kami, kelompok pemberontak yang terus-menerus berupaya membunuh para adipati. Tapi kemudian hari niatannya berubah. Ia yang semula memihak kepadaku justru berbalik menentang. Aku tak tahu apa alasannya berbuat yang demikian. Yang aku tahu, Tarjo berhasil merampas sebilah pedang pusaka andalanku dalam membunuh orang-orang terdekat adipati, dan pedang itu pula yang akhirnya mengakhiri hidupku, atau lebih tepatnya memindahkan diriku ke dalam diri lainnya, ke dalam situasi, waktu, dan zaman yang berbeda-beda pula. Seringkali aku terpikirkan mengenai nasib adipati-adipati brengsek itu, apakah mereka juga berpindah-pindah tempat seperti aku? Jika iya, maka Tarjo juga bisa melakukan hal yang sama, sebab ia adalah orang terpilih adipati, itu terjadi setelah penghukuman yang dilakukan terhadap diriku. 

Jika memang Tarjo dan adipati-adipati brengsek penindas rakyat itu juga bisa melakukan perpindahan tubuh selama beribu-ribu abad lamanya, maka mereka pasti akan bertemu dengan Warman, dan mereka akan membuat persekongkolan licik untuk memburuku. Mereka akan mencoba berbagai cara untuk terus berpindah tubuh hingga bertemu denganku. Tapi kupastikan juga satu hal, seseorang misterius—yang kini kusebut saja ia Maut Andareja—selalu bersetia datang dan membawaku ke dalam dimensi berbeda, bukan tidak mungkin pula  Tarjo serta para adipati juga melakukan hal yang serupa dan memburuku tanpa kenal lelah, sebab salah satu dari mereka, seorang tua berilmu tinggi  bernama Badawung, pernah berguru langsung dengan Maut Andareja, jadi ia pasti tahu banyak rahasia-rahasia untuk berpindah tubuh dengan cepat. 

*

Aku tak pernah tahu mengapa segala keanehan-keanehan ini terus menempel dan melekat pada diriku, apa karena sepasang Surti yang pernah kutemui di era Warman dan era Tarjo? Aku tak pernah benar-benar memahami seutuhnya. Surti selalu membuntutiku. Menciptakan ruang jeda. Aku seakan pelarian yang tak tahu dari mana arah datang dan kemana arah untuk kembali menuju pulang. Para adipati, Tarjo, dan semua orang yang mungkin juga akan terus terlahir ulang dan memburuku, apakah mereka akan menemu batas akhir kehidupannya?  Berbagai perasaan aneh terus mengepungku, tiap kali Maut Andareja memindahkan diriku ke dalam ruang dan dimensi berbeda. 

Kali ini Maut Andareja memindahkanku ke sebuah kota yang penuh dengan orang-orang berkepala aneh. Mereka setengah manusia. Tapi berkepala binatang. Ketika berpapasan dengan salah satu dari mereka, aku langsung saja bertanya, “di mana saya sekarang? kota apa ini? mengapa dengan kepala-kepala anda semua?” Orang yang kutanya demikian tak menjawab. Ia terus saja berlalu seakan tak mendengar suaraku. Orang berikutnya yang kutemui juga demikian. Tak ada sedikitpun jawaban bisa aku dengar. Ataukah kota ini kota kutukan, yang menyebabkan seisi penduduknya berkepala aneh dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun buat berbicara? Seketika aku kembali terkenang beribu-ribu peristiwa dan masa yang pernah kulewati, bayang-bayang Warman, orang-orang kampung yang menghukumku, gerombolan preman yang merobek dadaku, sepasang Surti di era Warman dan Tarjo, bayang-bayang ibu, serta seorang duda tanpa anak. Di mana mereka sekarang? 

***