The Existence of Arek Surabaya during the Colonial Period

The Existence of Arek Surabaya during the Colonial Period

Anugrah Yulianto Rachman–Nugi. Peneliti Arek Institute.

Colonialism has shaped the structure of the city of Surabaya, including the aspect of living space. The creation of this city structure has led to the emergence of a boundary between the urban area and the village. This spatial limitation significantly influenced the emergence of Arek Surabaya. For instance, this phenomenon is explored in William H. Frederick’s work titled “City Views and Turmoil: The Birth of the Indonesian Revolution (Surabaya 1926-1946)” (1989).

Frederick traces the history of Surabaya, starting from 1906, a period marked by decentralization due to ethical political policies. This led to the colonial government transforming the city into a Gemeente (Municipality).

Unfortunately, the transformation of Surabaya into a Gemeente further exacerbated inequalities for Arek Surabaya at the time. These inequalities stemmed from the division between Europeans and natives (inlanders), granting special rights to European residents. Although Arek Surabaya and Europeans lived within the same city boundaries, the native residents did not enjoy equal rights as city dwellers.

Moreover, the shift in governance led to rapid modernization in city development, such as the construction of modern ports, clean water purification systems, electric tram transportation, and paved roads. On one hand, Arek Surabaya, as city residents, became “outsiders.” For example, they lived in different land categories from the Europeans.

This difference in land categories is evident in the living spaces of Europeans. It emerged from the distinction between European elite residences and those of the natives. The Darmo area, for instance, was an elite residential complex for Europeans, developed with amenities like zoos, wide asphalt roads, and luxurious houses. In contrast, Arek Surabaya had to settle in spaces within the city that were untouched by municipal development, termed as villages. The natives had to build their civilization and culture within these environments.

Although the concept of a village may seem similar to that of a rural area, they differ in social cohesion and population density. Frederick highlights the social bonds within these village communities, rooted in the background of Arek Surabaya.

Frederick views Arek Surabaya not as a unified ethnic or social group but as migrants and settlers who share a common outlook and tradition, characterized by courage, realism, and material progress. This distinction is not only related to social cohesion in the villages but also marked by differences in living spaces between the village and the city.

Villages within Surabaya are directly bordered by the urban areas of the city. These boundaries are visible and clear, such as large walls, paved roads, or large buildings in European residential areas. All these physical objects have created a separation between village and urban spaces.

In specific cases, such as in 1929, Arek Surabaya was given living space in the Keputran area. The colonial government observed that village life had become increasingly crowded, so the native population needed to be provided with more suitable living spaces. However, the population density could not compete with the concrete jungle in Surabaya, such as restaurants, shops, hotels, and large houses owned by the Dutch.

The Keputran settlement case proves that the relationship between villages and urban areas has created visible boundaries (tangible-border). This marks the peripheral living space of Arek Surabaya. Even in 1921, the Dutch government was already aware of the need to relocate villagers from business centers and Dutch residential areas to more peripheral locations.

The creation of living space boundaries between the village and the city in the Keputran case is a manifestation of the emergence of Arek Surabaya based on the binary relation of city/village. The presence of these boundaries, such as concrete jungles in between, has created stereotypes about the Arek community living in villages.

Thus, according to Frederick’s research, Arek Surabaya emerged from the creation of living space boundaries in the colonial city. They are considered the Other in the context of Surabaya’s development, then dominated by Dutch colonialists. Villages were “left behind” or “marginalized” amidst the city’s progress, marking the term Arek Surabaya with a stigma of village life.

In short, the emergence of Arek Surabaya is actually a social pathology resulting from the city structure built by colonialism, causing Arek Surabaya to occupy a narrow space between urban areas, namely the village.

REINKARNASI KESEKIAN

REINKARNASI KESEKIAN

 Aku tak pernah tahu mengapa segala keanehan-keanehan ini terus menempel dan melekat pada diriku, apa karena sepasang Surti yang pernah kutemui di era Warman dan era Tarjo? Aku tak pernah benar-benar memahami seutuhnya. Surti selalu membuntutiku. Menciptakan ruang jeda. Aku seakan pelarian yang tak tahu dari mana arah datang dan kemana arah untuk kembali menuju pulang.
Muhammad Daffa | Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan cerpenis di kompas.id []

Kubiarkan Warman dan orang-orang kampung menghukumku. Mereka tak akan pernah tahu tentang apa yang sebenarnya menimpaku. Kubiarkan Warman membentur-benturkan kepalaku ke gundukan batu hingga nyaris pecah. Aku benar-benar tak sadarkan diri setelahnya. Lalu seseorang seakan tiba dan memindahkan diriku ke dalam dimensi berbeda. Di sana, segalanya memang sangat jauh berbeda. Tak ada Warman. Tak ada orang-orang kampung yang beringas menghajarku. Tak ada Surti. Ah, perempuan itu. Perempuan yang pernah menghabisi tubuhku di tengah hutan pada suatu malam dikepung kabut. 

Perempuan yang pernah menghabisi seluruh gairah keperjakaan yang kumiliki. Surti Surti Surti. Kusebut namanya tiga kali. Bayangannya tiba di hadapanku. Ia tersenyum. Wajahnya penuh dengan luka-luka sayatan. Mungkinkah Warman yang melakukan itu semua? Puluhan kali aku mengalami kesialan, puluhan kali pula seseorang memindahkan diriku ke tempat lain, tempat yang sama sekali berbeda dan terasa mengasingkanku. Tak ada Surti di sini. Tak ada Warman. Hanya keriuhan orang-orang yang menontonku, seolah aku ini orang gila yang lepas dari kurungan rumah sakit jiwa. Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku? Siapa yang memindahkan diriku berkali-kali? 

*

Terkadang aku membayangkan seseorang itu bernama Maut Andareja, si tua yang bersekutu dengan kitab-kitab pemusnah jagat, konon ia adalah tangan kanan Tuhan yang dikaruniai hidup lebih dari seribu abad lamanya. Terkadang kubayangkan Maut Andareja hadir di saat kesialan-kesialan berkerumun di sekelilingku, menghajarku tanpa ampun. Kesialan-kesialan itu seolah berkata bahwa aku ini perampok, pembunuh, pemerkosa, perebut istri orang, dan lain-lain hal yang sepenuhnya aku tidak mengerti. Mengapa kesialan terus memburu ke mana pun aku berlalu? Apakah kesialan adalah seseorang yang bakal menemani aku hingga tiba waktu untuk terjun bebas dari sebuah jembatan pinggiran kota? 

Berbagai upaya aku lakukan untuk melawan kesialan. Mulai dari datang ke dukun-dukun ilmu hitam berilmu tinggi, hingga mencari kyai sakti yang memiliki karunia dari wangsit nabi-nabi di Sidratul Muntaha. Semua tak membuahkan hasil. Jika sudah begitu, seseorang misterius datang ke hadapanku seolah malaikat pencabut nyawa, tapi aku yakin dia adalah Maut Andareja, tangan kanan Tuhan. Dia selalu muncul di waktu-waktu tak terduga. Aku pun berpindah dalam sesi kehidupan lainnya. Terus saja begitu. Hingga terkadang kuharapkan kiamat dan huru-hara akhir zaman disegerakan masanya. Biar aku bisa terbebas dari semua keabsurdan ini. 

*

Beribu-ribu hari aku seorang diri di berbagai kota, berhari-hari pula kurasakan keabsurdan yang tak kunjung berhenti menimpaku. Kali ini aku mendadak terbangun di sebuah los pasar daerah terminal entah di kota apa, dan sekonyong-konyong seorang preman menghampiriku dan menodongkan senjata, kubilang tak punya uang yang bisa disedekahkan bagi tampang Rhoma Irama-nya. Ia melunjak. Ia menendangku. Ia juga menghajarku dengan tinju yang cukup kuat di bagian rahang. Aku tersungkur. Ia memanggil teman-temannya yang berjumlah puluhan. Walhasil aku kembali dijemput seseorang. Seseorang misterius yang selalu datang tepat pada waktunya. Kali ini kondisiku jauh lebih parah. Bagian dada hingga perut koyak oleh senjata tajam. Seseorang misterius itu acuh tak acuh. Ia membuatku tak sadarkan diri lagi. Bangun-bangun, aku sudah berada di dalam rumah seorang kaya raya. 

Ia mengaku duda tanpa anak. Hidup sendirian dan kadang diserang rasa frustasi. Kukatakan padanya bahwa ia cukup beruntung. Masih ada kekayaan dan segudang harta tujuh turunan yang menemaninya ongkang-ongkang sepanjang hidup. Berbanding terbalik denganku, berpindah-pindah tubuh setiap waktu. Ketika aku bilang yang sebenarnya ia justru tertawa. Ia berpikir aku bergurau. Ia berpikir aku sedang membuat lelucon yang biasa tayang di televisi saban akhir pekan. Dia justru mengatakan bahwa menemukan tubuhku di kawasan stasiun yang tak jauh dari rumahnya. Aku terheran-heran. Seseorang misterius itu pasti memiliki kesaktian setara dengan dewa. Ia bisa memindah-mindahkan diriku setiap saat, dan tugas yang dilakukannya pasti bukan tanpa alasan. Ada seseorang lain yang menyuruh untuk melakukannya. Apakah Maut Andareja? Ah, tidak mungkin. Dia tidak pernah mengurusi kehidupan manusia biasa seperti aku. Dia hanya mau mengurusi turunan raja-raja di masa lalu, sedangkan aku bukan turunan raja, dan tidak pernah ada sangkut-pautnya dengan raja-raja itu. 

*

Dulu ibu memang pernah bercerita, entah sekadar bergurau atau menakut-nakutiku, “Le, kamu ini keturunan Suparta. Iya, kamu keturunan kedua puluh satu dari Suparta. Dia seorang pertapa sakti yang pernah membantu warga desa di sini. Pada masanya, Suparta membantu warga desa yang sedang terserang wabah batuk darah. Wabah ini diyakini para tetua desa sebagai kutukan dari roh halus yang menjaga desa. Roh halus itu marah karena desa kita tercemar oleh pengaruh-pengaruh dari kebudayaan asing. Maklum, waktu itu kita masih terjajah. Desa ini saja masih dikelilingi hutan-hutan yang lebat. Bisa kamu bayangkan, Le, Suparta mengobati semua warga desa dalam waktu sekejap dan setelah itu seisi desa benar-benar aman kembali tanpa ada wabah dan gangguan lain yang mengusik!”

Sepasang mataku berbinar-binar ketika ibu menceritakannya. Ia mengingatkanku pada Surti. Surti juga seorang pendongeng yang ulung. Terlebih ketika ia sedang mencumbuiku di tengah hutan, pada malam-malam berlapis kabut. Surti. Ibu. Sepasang perempuan yang selalu aku rindukan. Tiap kali berpindah tempat ke lain waktu, aku selalu terkenang kehangatan Surti. Surti yang tak pernah bosan mendengarkan keluh-kesahku. Surti yang selalu mampu menyabarkanku ketika kawan-kawan seperjuangan mulai berkhianat padaku. Ya, kawan-kawan seperjuangan yang seharusnya bisa membantuku dalam aksi menumpas kebrengsekan para adipati justru memilih mangkir dan berbalik memfitnahku dengan sejumlah tuduhan. Mereka mengatakan bahwa aku adalah dalang di balik tewasnya orang-orang bayaran adipati yang ditugaskan menjaga perbatasan. Mereka juga mengatakan yang bukan-bukan soal Surti. Mereka bilang Surti adalah kaki tanganku untuk menjatuhkan adipati. Adipati memanggilku ke hadapannya. Kupenuhi panggilannya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Ia memenggal kepalaku dengan sebilah pedang pemberian Tarjo, kawan seperjuanganku yang sudah kuanggap adik sendiri. 

*

 Tarjo tahu bahwa hanya dengan pedang itulah ilmu kanuragan milikku bisa dilucuti. Ia tertawa puas dan berkata kepada adipati, bahwa apa yang dilakukannya terhadapku adalah sebuah tindakan yang benar. “Dewa-dewa akan memberimu banyak kebaikan!” Begitulah ia bersandiwara di hadapan adipati. Adipati-adipati di kawasan lain kemudian berkumpul di keesokan harinya, setelah kepalaku dipenggal dan dilemparkan ke sebuah jurang penuh serigala. Masih kuingat jelas bagaimana wajah adipati-adipati itu, mereka yang berkumpul menyaksikan tubuh tanpa kepalaku dipanggang dan dijadikan makanan anjing peliharaan mereka. Mereka juga menjadi saksi ketika kepalaku dilempar ke jurang serigala itu. Raut kepuasan tergambar di wajah mereka. Wajah yang penuh dengan tipu-muslihat dan akal licik.

Aku juga masih sangat ingat wajah Tarjo. Lelaki yang serupa dengan Warman. Bedanya, Warman hanya seorang pekerja rendahan yang sering dikasari oleh pimpinan kami. Sementara Tarjo, dia adalah orang terpandang dengan kekayaan melimpah ruah. Tak heran ia banyak membantu perjuangan kami, kelompok pemberontak yang terus-menerus berupaya membunuh para adipati. Tapi kemudian hari niatannya berubah. Ia yang semula memihak kepadaku justru berbalik menentang. Aku tak tahu apa alasannya berbuat yang demikian. Yang aku tahu, Tarjo berhasil merampas sebilah pedang pusaka andalanku dalam membunuh orang-orang terdekat adipati, dan pedang itu pula yang akhirnya mengakhiri hidupku, atau lebih tepatnya memindahkan diriku ke dalam diri lainnya, ke dalam situasi, waktu, dan zaman yang berbeda-beda pula. Seringkali aku terpikirkan mengenai nasib adipati-adipati brengsek itu, apakah mereka juga berpindah-pindah tempat seperti aku? Jika iya, maka Tarjo juga bisa melakukan hal yang sama, sebab ia adalah orang terpilih adipati, itu terjadi setelah penghukuman yang dilakukan terhadap diriku. 

Jika memang Tarjo dan adipati-adipati brengsek penindas rakyat itu juga bisa melakukan perpindahan tubuh selama beribu-ribu abad lamanya, maka mereka pasti akan bertemu dengan Warman, dan mereka akan membuat persekongkolan licik untuk memburuku. Mereka akan mencoba berbagai cara untuk terus berpindah tubuh hingga bertemu denganku. Tapi kupastikan juga satu hal, seseorang misterius—yang kini kusebut saja ia Maut Andareja—selalu bersetia datang dan membawaku ke dalam dimensi berbeda, bukan tidak mungkin pula  Tarjo serta para adipati juga melakukan hal yang serupa dan memburuku tanpa kenal lelah, sebab salah satu dari mereka, seorang tua berilmu tinggi  bernama Badawung, pernah berguru langsung dengan Maut Andareja, jadi ia pasti tahu banyak rahasia-rahasia untuk berpindah tubuh dengan cepat. 

*

Aku tak pernah tahu mengapa segala keanehan-keanehan ini terus menempel dan melekat pada diriku, apa karena sepasang Surti yang pernah kutemui di era Warman dan era Tarjo? Aku tak pernah benar-benar memahami seutuhnya. Surti selalu membuntutiku. Menciptakan ruang jeda. Aku seakan pelarian yang tak tahu dari mana arah datang dan kemana arah untuk kembali menuju pulang. Para adipati, Tarjo, dan semua orang yang mungkin juga akan terus terlahir ulang dan memburuku, apakah mereka akan menemu batas akhir kehidupannya?  Berbagai perasaan aneh terus mengepungku, tiap kali Maut Andareja memindahkan diriku ke dalam ruang dan dimensi berbeda. 

Kali ini Maut Andareja memindahkanku ke sebuah kota yang penuh dengan orang-orang berkepala aneh. Mereka setengah manusia. Tapi berkepala binatang. Ketika berpapasan dengan salah satu dari mereka, aku langsung saja bertanya, “di mana saya sekarang? kota apa ini? mengapa dengan kepala-kepala anda semua?” Orang yang kutanya demikian tak menjawab. Ia terus saja berlalu seakan tak mendengar suaraku. Orang berikutnya yang kutemui juga demikian. Tak ada sedikitpun jawaban bisa aku dengar. Ataukah kota ini kota kutukan, yang menyebabkan seisi penduduknya berkepala aneh dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun buat berbicara? Seketika aku kembali terkenang beribu-ribu peristiwa dan masa yang pernah kulewati, bayang-bayang Warman, orang-orang kampung yang menghukumku, gerombolan preman yang merobek dadaku, sepasang Surti di era Warman dan Tarjo, bayang-bayang ibu, serta seorang duda tanpa anak. Di mana mereka sekarang? 

***